Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Jangan Ajari Pembaca!

12 November 2011   12:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:45 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_148521" align="alignnone" width="600" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Hanya penulis sombong, jika ia menulis dengan tujuan mengajari pembaca.  Menganggap pembaca perlu dicerahkan dengan tulisannya.  Menganggap pembaca tak tahu dengan apa yang dia tahu.  Menganggap pembaca sebagai manusia yang perlu diajari.

Anggapan salah lainnya tentang kepenulisan adalah anggapan bahwa penulis itu harus pandai.  Kalau belum pandai maka janganlah sekali-kali untuk menulis.  Maka seumur-umur hanya bercita-cita menjadi penulis sedangkan tulisan yang dihasilkan belum satu pun karena merasa dirinya pandai.

Betulkah pembaca bodoh?

Jangan!  Jangan sekali-kali menganggap pembaca tulisan kita belum tahu dengan apa yang kita tulis.  Apalagi kita berupaya untuk mengajari pembaca melalui tulisan-tulisan kita.

Anggaplah pembaca tulisan kita sebagai manusia-manusia pandai.  Manusia-manusia yang tahu tentang isi tulisan kita.  Sedangkan kita juga bukan sedang mengajarinya dong.  Dengan tulisan kita, kita justru berupaya untuk:

Berbagi

Kita punya sesuatu.  Yang mungkin belum sempurna.  Bahkan masih banyak kekurangan.  Kalau pun sudah dituliskan, tujuanya jelaslah untuk sebuah diskusi.  Bisa dikomentari, tanpa harus marah.  Bisa ditolak, kalau memang berbeda pandangan.  Bisa diterima, karena ada yang bisa dimanfaatkan.  Bisa dibuang, karena memang hanya sebuah sampah.

Karena bertujuan untuk berbagi, maka tak pernah ada rasa takut untuk menuliskannya.  Bukan untuk mengajari siapa pun.  menulis akan menjadi lebih lancar.  Tanpa ragu kalau salah atau kurang.  Toh, pembaca bisa ikut berperan.

Kepuasan Batin

Menulis berpangkal dari dalam hati untuk mengeluarkan rasa.  Mengeluarkan opini.  Setiap orang memang secara asalinya memiliki hasrat bermasyarakat.  Melalui tulisan, hasrat itu bisa tersalurkan.  Menyampaikan opini agar bisa berkomunikasi.

Kepuasan batin akan diperoleh dan menjadi tujuan tulisannya.  Karena tujuan inilah, maka keberanian menulis akan semakin tinggi.  Tak lagi takut kalau tulisannya tak berisi.  Tak bisa mengajari pembacanya.  Karena dari awal memang tak pernah bermaksud mengajari siapa pun tentang apa pun.  Kenapa mesti takut dikomentari?  Kenapa takut dikatakan sebagai sampah belaka?  Karena mungkin mereka tak memerlukan tulisan kita.  Tapi kita memang mendapatkan kepuasan batin dari tulisan kita.  Kalau ada yang suka syukur.  Kalau menjadi populer, tak masalah (kata Bung KR).  Itu semua hanya akibat saja, bukan tujuan.

Beribadah

Untuk apa menulis capai-capai.  Banyak penulis yang tak peduli dengan royalti.  Banyak penulis yang tak peduli dengan kepopuleran.  Karena mereka hanya mengharap sesuatu yang lebih dari itu.  Menulis dijadikan sebagai sarana ibadah.

Menulis tak menakutkan.  Menulis tak susah.  Menulis menjadi ringan.  Setiap hurup dan setiap kata adalah rahmat dan ibadah menuju jalan-Nya.  Bukan untuk mengajari pembaca.  Kalau mereka mendapat sesuatu dari tulisannya, maka bersyukurlah.  Kalau pembaca menganggapnya sampah, juga tak masalah.  Hanya rido-Nya yang diharap dari setiap rangkaian kalimatnya.

Ya, memang sebaiknya jangan mencoba untuk mengajari pembaca!

Setiap kali menulis dengan tujuan mengajari pembaca, maka yang terasa dari setiap katanya hanyalah kesombongan.  Yang terasa dari tulisannya adalah keengganan untuk berdiskusi dan marah setiap ada yang berbeda.  Yang terasa hanyalah perasaan akan adanya penghargaan.  Yang terasa hanya kebutuhan akan sanjungan.

Menulis pun menjadi pekerjaan yang menyulitkan.  Karena kita harus pandai dalam tulisan kita.  Karena kita tak boleh tersaingi.

Maka, mulai sekarang, berhentilah atau buanglah hasrat untuk mengajari pembaca.  Jadikanlah tulisan sebagai media dialog yang setara antara penulis dan pembaca.  Sehingga akan terjadi diskusi yang kondusif.  Akan terjadi suasana yang semakin mendorong kesalingmengertian.  Walau antara penulis dan pembaca belum tentu setuju dengan isi tulisan.  Bahkan mungkin justru saling bertolak belakang.

Segalanya akan menjadi indah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun