Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pak Lurah

8 Juli 2011   10:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:50 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi masih belum terlalu siang. Karena hari libur, aku malas-malasan. Tak ingin rasanya membuang waktu yang langka ini. Tapi, teriakan istri tak mungkin dibiarkan begitu saja. Pasti akan semakin melengking kalau tak dihiraukan.

Motor butut aku stater. Meluncur mencari abang bubur yang biasanya mangkal di dekat perempatan. Tak ada. Mungkinkah sudah pulang? Tak mungkin. Saat melempar pandangan ke segala penjuru, mata pun terpaku pada orang-orang yang sedang berkerumun. Karena penasaran, aku dekati mereka itu. Ternyata Pak Lurah dan beberapa staf kelurahan sedang membetulkan got yang mampet. Mampetnya baru satu hari sih, tapi pas kemarin sore hujan, air meluap ke jalan raya hingga menggangu setiap pengguna jalan.

Kaget juga hati ini. Baru kali ini saya lihat ada pejabat negara, walau setingkat lurah yang sigap. Baru kemarin got mampet, hari ini langsung diperbaiki. Tak tanggung-tanggung, perbaikan langsung dipimpin oleh pak lurah. betul-betul seorang pemimpin sejati. Bukan hanya jago pidato, pak lurah ternyata mau terjun langsung memimpin. Kaya mimpi saja.

Hampir saja saya ikut terjun membenahi got itu. Rasanya hati ini kok terluka jika sebagai rakyat kok menonton saja saat pemimpinnya sedang bekerja keras. Aku pun meminggirkan motor. Menyisngsingkan celana. Tapi apa yang terjadi?

Pak lurah langsung memarahiku. Aku disuruhnya pergi. Pak Lurah tak mau merepotkan rakyatnya. Karena dia pemimpin maka sudah seharusnya bekerja untuk orang-orang yang dipimpinnya. Masa pemimpin cuma ingat rakyat kalau pemilu saja.

Karena dimarahi, maka aku pun berbalik badan. Tapi tak disangka-sangka, ada benda keras membentur punggungku. Sakit sekali rasanya. Jangan-jangan Pak Lurah yang masih marah melempariku batu. Bagiamana pun juga ini keterlaluan. Aku balik badan. Kemarahanku sudah sampai ujung. mentang-mentang sekali Lurah ini. Mau dipuji saja dia. Aku pun mengepalkan tangan.

Tapi yang kulihat istriku dengan mata melotot. "Dusurh beli bubur, malah molor lagi! Bangun!" Aku pun tersentak. Ternyata aku cuma bermimpi. Ah, pegawai negeri. mana ada yang sudah bangun sepagi ini? Apalagi mau benerin got segala. Mustahal!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun