Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kaji Kembali Kurikulum 2013

2 Oktober 2014   16:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:40 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kebiasaan para pengambil keputusan di negeri ini untuk membolak-balik kebijakan amat sangat menyedihkan.  Contoh paling konkret dan aktual adalah masalah pimpinan DPR.  Tahun 2004 sudah tercatat dalam sejarah ketika DPR begitu membisingkan saat melakukan pemilihan pimpinannya.  Bahkan nyaris berbulan-bulan tak ada solusi sehingga membelenggu negeri ini.  Pada tahun 2009 cara pemilihan pimpinan DPR diubah sehingga tak membisingkan.  Tapi, tahun 2014 kembali lagi pada sejarah tahun 2004, membisingkan dan merugikan rakyat negeri ini.  Sebuah sikap bolak balik hanya demi kepentingan sendiri sambil mengabaikan aspirasi rakyat yang diwakilinya.

Di dunia pendidikan terjadi pada beberapa kebijakan.  Misalnya, kebijakan tentang guru yang dulu disntralisasi dan memunculkan banyak masalah.  Kemudian didesentralisasi seiring munculnya otonomi daerah.  Dan ketika pada saat desentralisasi guru ini memunculkan permasalahan, ada hasrat pemegang kekuasaan untuk kembali menyentralkan guru.  Bukankah nanti akan muncul masalah lagi dan tak ada jaminan akan ada bandul ke arah sebaliknya.  Terus kapan akan terjadi perjalanan ke depan dari negeri ini kalau kebijakan selalu maju mundur?

Hal yang paling menyedihkan adalah persoalan kurikulum.  Sebelum 2006, kurikulum disentralisasi.  Seluruh negeri memiliki kurikulum yang sama.  Padahal keragaman begitu tajam.  Lalu ide desentralisasi dengan pemerhatian kekhususan daerah bahkan kekhususan sekolah sangat terbuka.  Tapi, persoalan selalu datang beriringan dengan setiap kebijakan.  Persoalan, bukan persoalan yang muncul itu diselesaikan, tapi kebijakan ditarik ke bandul semula.  Kurikulum pun disentralkan kembali.  Sebuah sikap yang selalu tak pernah jelas arahnya.

Pernah ada upaya untuk memunculkan kurikulum nasional, kurikulum daerah, dan kurikulum sekolah.  Model ini sebetulnya lebih baik.  kenapa, karena dapat mengakomodasi kepentingan nasional dalam mata pelajaran tertentu, misalnya mapel Bahasa Indonesia, PKn, dan Agama.  Bisa juga mengakomodasi kepentingan dan keragaman daerah melalui matapelajaran berkurikulum daerah.  Juga masih tetap menjaga kreativitas sekolah dengan keunggulan-keunggulan tertentu yang selama ini sudah dimilikinya.  Kurikulum nasional, daerah, dan sekolah dapat menjadi alternatif yang baik bagi kepentingan nasional NKRI juga tidak mengangkangi keragaman serta kreativitas insan-insan pendidik.

Oleh karena itu, keinginan Jokowi untuk meneruskan Kurikulum 2013, sebagaimana disebutkan dalam statmen salah satu deputi di dalam Tim transisi adalah sebuah kesalahan.  Kenapa?  Karena Kurikulum 2013 ini telah memberangus keberagaman dan kreativitas.  Setiap sekolah dari Sabang hingga Merauke akan sama.  Kalau sama baiknya masih hebat, kalau sama ancurnya alias yang jelek tambah jelek dan yang tadinya penuh kreativitas menjadi mati?

Meninjau kembali keberadaan Kurikulum yang penuh masalah ini harus dilakukan.  Agar tujuan pemerintahan baru untuk merevolusi mental bisa benar-benar menjadi kenyataan.  Dan Anie baswedan saya pikir akan sanggup melakukan hal ini.  Bagimana Pak Presiden Jokowi?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun