Mohon tunggu...
Mochamad Syafei
Mochamad Syafei Mohon Tunggu... Guru - Menerobos Masa Depan

Kepala SMP Negeri 52 Jakarta. Pengagum Gus Dur, Syafii Maarif, dan Mustofa Bisri. Penerima Adi Karya IKAPI tahun 2000 untuk buku novel anaknya yang berjudul "Bukan Sekadar Basa Basi".

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

3 Hati dalam Gelas (29)

18 April 2016   13:53 Diperbarui: 18 April 2016   14:23 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dia bukan buta, tapi dia telah melihat dengan cara berbeda," kata Dini dengan suara yang begitu yakin.  Begitu teguh.  Suara yang bukan hanya rangkaian kata-kata.  Suara yang tumbuh dari nurani yang bahagia.

Tak disadari, Diah mengucap berkali-kali rasa syukur itu.  Berkali-kali Diah mengucap bangga.  Pada kakak yang baru kali ini dijumpainya.

"Kak Juli betul-betul melihat dengan nurani.  Hatinya terlalu suci.  Pokoknya, dialah malaikatku," kembali ada linangan air mata yang jatuh pelan-pelan dari pelupuk mata Kak Dini.

Betapa banyak.  Banyak sekali.  Orang yang dihina karena kebutaannya justru dapat melihat dengan nuraninya.  Betapa banyak.  Banyak sekali.  Mereka yang membuka mata tapi menutup nuraninya rapat-rapat.

Nabi.  Seoranga nabi selalu diutus ke dunia ini hanya untuk mengembalikan nurani manusia yang dihialngkan oleh manusia sendiri.  Atau dilipat dalam buram hatinya.

Agama adalah pembela siapa pun yang tertindas.  Siapa pun yang kehilangan kemanusiaannya.  Tidak seperti apa yang sering kita saksikan saat ini.  Agama dijual demi kebahagiaan duniawi.  Agama didagangkan dimana-mana.  Bahkan diobral hanya untuk memuaskan nafsu para penguasa.  Agama tidak lagi murni sebagaimana ketika dulu diturunkan.

Maka, janganlah heran kalau agama kemudian menjadi tempat paling subur bagi semaian-semaian kebencian.  Agama yang dulu penuh kasih justru kini menjadi ladang caci maki.  Kebenaran hanya untuk diri sendiri.  Siapa yang tidak satu kata dengan tafsirnya maka langsung dihakimi sebagai sesat dan tak layak hidup di negeri ini.

Diah masih ingat.

Dulu Diah juga sering terkucil.  Hanya karena kakek Diah ada yang katanya aktif di sebuah organisasi terlarang.  Kakek Diah sudah tak ada, tapi derita yang harus ditanggung masih tetap diwariskan pada anak-anak dan bahkan cucunya.

Waktu Diah hendak mengaji pun banyak yang menyindirnya.  Padahal itu berasal dari  nurani.

"Kamu tahu bagaiamana stigam yang dibebankan kepada para pelacur kan?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun