Oleh: Mochamad Kevin Al IsraÂ
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FIKOM Universitas PamulangÂ
Di jantung Kota Solo, Jawa Tengah, terdapat sebuah tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad membatik. Bukan sekadar seni atau kerajinan, batik di Solo adalah bagian dari identitas budaya yang terus dilestarikan oleh generasi demi generasi. Bagi warga Solo, batik bukan hanya sebuah produk kain, tetapi sebuah cerita yang tertulis dalam tiap goresan dan warna, yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan.
Tradisi Batik yang Tak Lekang oleh Waktu
Kain yang dilukis dengan teknik khusus menggunakan canting dan cairan lilin malam, sehingga membentuk gambar-gambar bernilai seni tinggi, atau yang biasa disebut dengan batik. Kata batik berasal dari bahasa Jawa, yaitu amba dan tik yang berarti menulis titik.Â
Batik merupakan warisan budaya Indonesia yang memiliki sejarah panjang, berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran Islam di Jawa. Batik mulai dikembangkan pada masa kerajaan Mataram, kemudian berlanjut di masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.
Batik Solo, atau lebih dikenal dengan sebutan "Batik Keraton," merupakan salah satu warisan budaya yang paling dihargai di Indonesia. Keindahan motif dan teknik pembuatannya yang rumit mencerminkan filosofi dan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya Jawa. Berbeda dengan batik dari daerah lain, batik Solo memiliki karakteristik yang lebih halus dan penuh makna. Setiap motif dan corak pada kain batik Solo menyimpan cerita dan simbol-simbol tertentu yang mencerminkan status sosial, kepercayaan, hingga harapan akan masa depan.
Batik tidak hanya dikenal di dalam negeri, tetapi juga telah menjadi simbol budaya Indonesia di kancah internasional. Seiring dengan pengakuan UNESCO terhadap batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi pada 2009, batik Solo semakin dikenal di dunia. Batik merupakan bagian dari budaya Indonesia yang melambangkan keragaman dan kekayaan tradisi bangsa ini.Â
Kisah Para Perajin Batik
Di salah satu sudut Kota Solo, di sebuah rumah kecil yang sederhana, Ibu Siti (56), seorang perajin batik tradisional, menghabiskan sebagian besar waktunya di depan meja batiknya. Dengan tangan terampil, ia mencelupkan canting alat yang digunakan untuk menorehkan malam (lilin) pada kain ke dalam cairan panas, lalu mulai menggambar motif-motif halus pada kain putih.
Ibu Siti telah mewarisi keterampilan membatik ini sejak kecil. Ia belajar dari ibunya, yang juga seorang perajin batik terkenal di daerahnya. "Batik ini bukan sekadar pekerjaan, tetapi sebuah panggilan jiwa," ujarnya dengan senyum ramah. "Batik adalah warisan yang harus dijaga, karena di dalamnya ada nilai dan cerita yang tidak boleh hilang."