Oleh: M.Iqbal.M
Seseorang yang menarik diri dari sebuah lingkaran/tongkrongan bukan berarti ia pasif (pasif dalam arti harfiah) atau bahkan sombong. Sebab bisa saja ia tidak bersimpati dengan yang dilakukan oleh orang-orang di lingkaran tersebut lantaran ada simulakrum relasi kuasa yang destruktif, dekaden dan akumulatif serta adanya invisible hand yang bermain dibelakang orang tersebut.
Tapi sayangnya, orang-orang yang ada dilingkaran/didalam tongkrongan di indonesia (penduduk yang rendah kognitif dan spiritus, bahkan tinggi afektif-destruktif) seringkali berpikiran negatif dahulu kepada orang yang menarik diri semacam itu, tanpa bisa mengkoreksi dirinya sendiri dari berbagai perspektif dan solusi sintesis yang arif, lantaran dangkalnya pola pikir, tumpulnya analisa, dan sempitnya perspektif hermeneutis, bahkan ditataran logika saja gagal mengidentifikasi sesuatu secara kausal maupun determinan.
Apalagi, bahkan tidak hanya faktor diatas, ada juga orang yang di dalam lingkaran/tongkrongan yang secara sadar ingin mengeluarkan orang lain dari lingkaran/tongkrongan lantaran secara personal tidak menyukai orang lain tersebut, karena ia menganggap orang lain tersebut terlalu sempurna sebagai manusia, sehingga ia iri dengannya. Kemudian koar-koar mencari-cari kesalahan tanpa bukti konkret/tanpa membuka mediasi dan bahkan menambah-nambah isu dengan orang-orang yang ada dilingkaran/tongkrongan ketika orang yang tak ia sukai tersebut sedang tidak ada/berada dilingkaran/tongkrongan tersebut.
Itulah orang-orang yang hanya menjadi beban untuk orang lain; para kerumun yang hidup diatas penderitaan orang lain secara kultural; orang-orang yang tenggelam dalam kesenangan-kesenangan komunal dan menggunakan kekuatan massa untuk mengebiri orang lain yang dirasa lebih sempurna dari para kerumun itu sendiri; atau dengan kata lain, para kerumun yang membuat kita tertawa ketika kita melihatnya atau beririsan dengannya.
Terlepas dari itu, jika sebuah lingkaran/tongkrongan merupakan kumpulan dari orang-orang yang berteman dengan tulus, ketika timbul sebuah persoalan, mereka pasti akan memperbaiki persoalan tersebut secara sopan, halus, pelan-pelan, mediatif, sekaligus saling memaafkan dan memahami, bahkan sebelum berdialog, mereka tidak mengucapkan kalimat frontal dan konfrontatif; cenderung menggunakan kalimat yang implisit terlebih dahulu.
Contoh diatas inilah orang-orang yang sangat tulus menjalin pertemanan, sehingga yang selalu mereka khawatirkan ialah putusnya simpati pertemanan. Sangat berbeda halnya dengan orang-orang yang dari awal sudah tidak menyukai, sehingga yang dicari adalah justru putusnya simpati pertemanan. Itulah absurditas orang-orang non-asketis yang tenggelam dalam riuhnya kerumunan. Orang-orang nomad absurd yang gagal melampaui kecarut-marutan, sehingga senantiasa diperbudak oleh abstraksi dekadensi dunia.
*Glosarium:
-Spiritus: konsep nurani yang berbeda dengan sisi afeksi atau sisi sentimen-emosial
-Simulakrum: realitas yang dibuat utk tujuan tertentu yang bersifat negatif
-Sintesis: sebuah jalan tengah untuk solusi yg mutual dalam sebuah dialog yang pelik dan tak ada jalan keluar