Mohon tunggu...
M Iqbal M
M Iqbal M Mohon Tunggu... Seniman - Art Consciousness, Writter, and Design Illustrator.

Kontak saya di Instagram: @mochmad.iqbal.m

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kompetisi adalah Destruksi, Bukan untuk Dibanggakan

16 April 2021   22:28 Diperbarui: 25 Juli 2021   13:47 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: M.Iqbal.M

Bagi si pertapa (meminjam term Nietzsche), hidup bukan soal kompetisi. Jadi tidak perlu melihat teman sebagai musuh/saingan dengan dalil agar bisa memotivasi diri sendiri supaya dapat menjadi lebih bersemangat dalam bergeliat/menjalani hidup. Bahkan bernarasi membangga-banggakan perihal tersebut supaya terlihat bahwa telah meng-ada ala ontologi Cartesian.

Itu artinya, bagi si pertapa, hidup bukan semata soal meraih kesuksesan, melainkan soal terus-menerus mempertanyakan kesuksesan (be becoming for da-sein ontology repetition/self-overcoming) serta soal bagaimana bisa bernegosiasi secara tentram dan sehat dengan orang lain, tanpa ada dominasi atau tertutupnya 'dialektika temporisasi komunikasi' (meminjam term Deridda) dan kehendak yang terlalu menggebu-gebu terhadap pola pikir yang terpaku akan suatu kesuksesan akhir/final sekaligus tunggal ataupun suatu superioritas-naif.

Itulah mengapa, bukan soal sehat atau tidaknya sebuah kompetisi--lebih jauh lagi--melainkan soal bagaimana merubah simbiosa persaingan (survival of the fittest) dengan simbiosa mutual yang altruis sekaligus asketis. Sebab, apa kulminasi atau titik akhir dari benih-benih pola pikir kompetitif dan keterpakuan oleh tujuan kesuksesan final/tunggal mutlak (tidak repetitif) tersebut ?. Titik akhirnya yaitu berkomprominya dengan watak-watak fasistik (termasuk watak-watak ultra-konservatif kolot serta nomad pragmatis-nonholistik-logical fallacy). Bahkan benih tersebut dapat bertransformasi menjadi fasis itu sendiri. Dan alih-alih ingin berdiri 'diatas', justru tindakan semacam itu secara cepat atau lambat akan menghantarkan kepada keterpurukan, lantaran ketika berada 'diatas' dan ada seorang yang terpuruk,  maka konsekuensi logisnya ialah pembalasan demi merebut kedudukan agar bisa berdiri 'diatas' kembali. Semua saling balas membalas tanpa adanya sebuah kondisi dimana setiap individu hidup dengan segala perbedaan (dalam arti tertentu) secara harmonis.

Contoh singkatnya, di lingkup akademi (atau anggap saja di suatu lingkup ranah sosial), ada seseorang yang sebetulnya mempunyai kesadaran terhadap fenomena ospek yang bersifat premanistik, destruktif, dan diskriminatif (berkedok konstruktif), tapi karena dirinya tidak mau repot-repot cari cara agar dapat merubah fenomena tersebut--supaya menjadi lingkungan yang sehat dan dapat menjadi tempat yang tentram untuk setiap individu yang mempunyai karakter berbeda-beda--akhirnya, ia memilih untuk sekedar berkompromi dengan cara sama sekali tunduk terhadap fenomena tersebut. Bahkan menjadi pelaku penyelenggara/eksekutor ospek ketika sudah waktunya ia menjadi panitia ospek. 

Itulah contoh singkat ketika seorang yang terpaku oleh pola pikir kompetitif demi suatu kesuksesan tunggal-final, sehingga dirinya dengan mudah berkompromi terhadap suatu diluar kesadarannya. Dan seringkali tindakan kompromisnya tersebut disembunyikan dengan alibi bahwa dirinya memang sepakat atau mendukung ospek yang demikian itu (padahal ia sadar bahwa ospek tersebut tidak konstruktif), dengan kata lain ia terpaksa membohongi dirinya sendiri agar tidak dijauhi oleh habitat lingkungannya.

Selain orang yang punya kesadaran tapi kompromis sekaligus puritan tersebut, banyak juga seorang yang sama sekali tidak punya kesadaran, entah lantaran sudah teramat terpakunya ia secara internal dengan ambisi tunggal-final sehingga menutup rapat peluang timbulnya kesadaran atas perspektif baru, atau terlalu terdomestifikasinya ia dengan tuntutan eksternal sehingga kapabilitasnya hanya sebatas menjadi seorang penurut dekadensi komunal (komunalitas berlogical fallacy-non holistik).


Terlepas dari yang diuraikan diatas, tentunya term kompetisi dengan term dialektis itu merupakan dua hal yang berbeda. Dan si pertapa tentu saja--dalam konteks ruang dan waktu tertentu--tidak bisa terlepas dari terpaksanya ia melakukan upaya-upaya dialektis/tesis-antitesis ketika beririsan dengan tubuh-tubuh fasistik. Bahkan bisa saja tidak lepas dari metode kompetisi tertentu, akan tetapi sudah pasti tidak "selucu", "semenyedihkan" atau sedestruktif para serampangan pun para ultra-konservatif yang membangga-banggakan suatu pola berpikir kompetitif dan suatu kesuksesan tunggal-final (tanpa repetisi, reevaluasi dan asketisme).

Apabila si pertapa hendak menulis reaksi terhadap narasi yang dicanangkan oleh para serampangan dan ultra-konservatif tersebut, mungkin yang akan dituliskan seperti yang ada dibawah ini:

So, go torture youself, cos i wrote and act for authenticity peace and freedom from holistic-deep-metafisis, not just a scum of universal justice or naif-achievement. Selebihnya, kita semua masih menghirup oksigen yang sama (baca: Oksigen; suatu kumpulan atom yang menghantarkan manusia kepada kehidupan sekaligus kematian).

Pada akhirnya, si pertapa meminjam diktum aforisma dari Nietzsche; "Bahwa, tidak ada perang antara yang kuat dan yang lemah, yang merasa menang dan merasa kalah, yang ada hanyalah negosiasi dari kebertubuhan yang mengendalikan kehendak sekaligus mengurangi pelbagai macam variabel keremeh-temehan yang telah dan akan dihidupi demi suatu asketistik yang autentik".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun