Oleh: M.Iqbal.M
Jika hidup dan mati hanyalah berupa kemungkinan dari fenomena-fenomena yang masih akan terus-menerus datang sebagai kemungkinan yang bisa saja tidak selamanya memungkinkan, maka aku akan menghendaki segala kemungkinan dengan apa yang selama ini kita anggap ada dan tiada. Sebab satu-satunya yang memungkinkan hanyalah kemungkinan dari apa yang mungkin dan tidak mungkin.
Begitulah ucap Max-Labxi Manoff, seorang pembebas misterius yang berkilauan tanpa secercah perulangan. Namun, ia selalu saja terjebak dalam abstraksi anak pencerahan yang tidak pernah menghasilkan induk kunci apa-apa soal berbagai misteri awalan dan akhiran dari kekonyolan. Bagai ketiadaan yang mengada, tapi tidak kunjung bisa bertemu dengan adanya fakta ketiadaan bahwa permainan hanyalah sebuah permainan tentang segala kekonyolan tanpa adanya jawaban yang absolut terhadap bagaimana praksis untuk berkata; “ya atau tidak”, selama permainan masih berjalan nan aktual.
Berangkat dari kedalaman berlapis-lapis langit diantara ilalang kemajemukan. Max yang berjalan bagai angin di antara ranting dedaunan, secara mudahnya beririsan dengan berbagai keadaan yang mengada dan meniada. Sehingga, menjadikan dirinya senantiasa berkubang di dalam luasnya kubangan sebelum berterbangan di sela-sela belantara gelap yang menyilaukan kejernihan pupil di dalam spiritus kepala yang menubuh.
Dengan membawa beberapa buah tangan yang masih tersisa di dalam keranjang berbahan kain kanvas berserat sutra yang ia ikatkan di pergelangan badannya. Ia terus-menerus berjalan mencari rumah yang tidak pernah mau ia singgahi sebelumnya. Seusai melewati jalanan panjang penuh lubang yang bergetar, ia segera bergegas berlarian di jalan raya penuh aspal yang dilapisi oleh berbagai macam mikroba menjelang senjakala menyinari gedung-gedung bertingkat yang mulai meredup.
Sementara, kawannya bernama Roundyguard Nireden yang sedang berdiam diri di suatu tempat yang berada di pinggiran populasi—dekat dengan gubuk-gubuk dan selokan yang penuh dengan selubung hasrat—melihat gelagat Max dari kejauhan. Kemudian ia menyapanya dengan berteriak lantang selantang bunyi meriam dari menjijikannya pergolakan perang antar pertentangan esensi tendensif yang tidak pernah berakhir. Namun, Max tidak kunjung mendengar sapaan dari Roundy, sehingga membuatnya terus melanjutkan pekerjaannya sebagai pembawa buah tangan yang berlarian riang gembira dibalik kepekatan gelak tawanya.
Setelah Max tiba pada pertengahan jalan, ia merasa harus melambatkan tempo berlarinya, sehingga ia berjalan sebegitu santainya seperti seekor semut pembawa gula hasil curian dari dapur tetangga yang sedang sibuk menimbun hasrat. Seketika ia mendengar gemercik suara yang berdesis ditelinganya. Diperhatikanya suara itu dengan seksama, kemudian ia tahu bahwa suara itu tidak asing lagi baginya. Ternyata, suara itu ialah suara yang meronta-ronta keluar dari kedua bibir kawannya Roundy. Kemudian, secepat besitan kilat ia menghampiri kawannya tersebut. Sembari memuntahkan sebuah kalimat berbentuk pasak yang mencuat berkali-kali di dinding goa persembunyiannya.
"Hallo, bagaimana kabarmu?" sapa Max ketika mereka bertatap mata.
"Tetap tanpa kabar" sahut Roundy. "Silahkan gunakanlah semua fasilitas yang aku punya wahai kawanku, entah itu gubuk kecilku untuk melanjutkan kegemaranmu sebagai pertapa, ataupun selokan yang dapat kau manfaatkan untuk kepusakaan yang kau punya". Roundy melanjutkan.
Max mengangguk menandakan kebersediaannya pada tawaran yang ia terima. Dan beberapa saat kemudian, ia memasuki gubuk itu dengan sangat berhati-hati. Lalu ditempelkannya buah tangan yang ia bawa di setiap ujung gubuk berbentuk petak tersebut, dan dituliskannya sebuah aksara-aksara dalam bentuk prasasti yang dapat menghamparkan semua pengunjung yang membacanya ke dalam hamparan cakrawala tanpa samudra yang menyala-nyala meski tanpa cahaya.
Tulisnya dengan seuntai pena runcingnya: Hidup itu untuk mati. Maka, mari berbicara tentang kematian. Kita adalah ketiadaan yang mengada-ada tiada ada. Maka, mari kita meniadakan ada yang tiada adanya. Bicara tentang penghidupan hanyalah fatamorgana dari mitos ilmu pengetahuan, kebendaan, lingkaran fana ataupun indahnya alam sana, yang selalu saja mengekalkan dikotomi antara senang dan pilu, mendominasi atau didominasi, menindas atau ditindas, beruntung atau tidak beruntung.