Saya hanya menyarankan agar mencari sendiri apa itu pengetahuan alternatif ataupun pengetahuan bersifat sosialis-libertarian tersebut. Sebab sudah banyak literatur atau artikel-artikel yang membahas soal "pendidikan alternatif / pendidikan-strategi berbasis sosialis-libertarian".
Jadi, yang ingin saya katakan disini ialah. Bukankan memahami birokrasi itu rumit sekaligus tidak masuk akal ?. Dan bukankah sekedar menuntut itu seringkali hanya akan berbuah kesia-sian di dalam wilayah pseudo-demokrasi ini ?. Bahkan, yang ada justru kita hanya sekedar memberi panggung seseorang untuk mencari identitas sosial, yang pada akhirnya memunculkan idol/patron yang cepat/lambat juga akan mengelabuhi kita ?.
Itu sebabnya, betapa pentingnya pengetahuan alternatif, bukan sekedar teriak-teriak ikut trend (yang sebetulnya masih kabur dalam melihat trend tersebut).
Maka dari itu, sekiranya kita tidak perlu terlalu menjadi ultra-konservatif. Cobalah sesekali mengeksplor pengetahuan-pengetahuan alternatif untuk menyiasati berbagai hal yang bersifat ultra-konservatif tersebut.
Apakah menjadi seorang yang berupaya mempunyai prinsip berunsur Sosialis-Libertarian atau berstrategi alternatif itu mungkin untuk diwujudkan ?. Tentu mungkin.
Sebab, jika eksperimen skala besar (sekaligus tergesa-gesa) hanya berbuah kekecewaan, maka eksperimen skala kecil atau bahkan yang teramat kecil lagi pasti bisa diwujudkan.
Sebagai penutup esai ini, mungkin penggalan dari risalah metaforis yang ditulis oleh seorang begawan bernama Friedrich Nietzsche dibawah ini menarik untuk kita pahami dalam pengetahuan/pendidikan alternatif kita;
"Selalu ada alasan dalam kegilaan.
Dan siapapun yang menari akan dianggap gila oleh mereka yang tak bisa mendengar musik" ---Friedrich Nietzsche.
*Referensi nama2 para tokoh pemikir:
-Pierre Bordieu
-Robert Mirsell
-Noel Goldin