Saat rencana pembangunan PLTSa Gedebage mulai bergulir pada tahun 2006, pihak kelurahan setempat yakni Kelurahan Mekarmulya mengadakan suatu pertemuan untuk membahas rencana pembangunan PLTSa tersebut dengan ketua RT yang ada di lingkup Kelurahan Mekarmulya. Hal tersebut tentu sejalan dengan konsep demokrasi deliberatif milik Habermas, yang membuat segala keputusan atau kebijakan yang dibuat oleh pemerintah setempat telah melalui proses demokratis dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Tetapi, pertemuan tersebut hanyalah akal-akalan pihak Kelurahan Mekarmulya, yang tentunya berada di bawah Pemerintahan Kota Bandung. Pihak Kelurahan Mekarmulya melakukan manipulasi dalam pertemuan tersebut. Daftar hadir yang ditandatangani oleh ketua RT dijadikan landasan persetujuan pembangunan PLTSa Gedebage. Bukannya membuat kebijakan menjadi partisipatif, pihak Kelurahan Mekarmulya dan Pemerintah Kota Bandung malah mencederai nilai-nilai demokrasi dengan bersikap manipulatif. Hal tersebutlah yang membuat warga Gedebage semakin tidak setuju untuk dilanjutkannya proyek PLTSa tersebut.
Selain itu, warga Gedebage juga melakukan aktivasi ruang. Mulai dari membuat mural, hingga mengadakan diskusi bersama beberapa pihak seperti mahasiswa dengan membahas mengenai rencana pembangunan PLTSa Gedebage. Hal tersebut turut membuat ruang publik menjadi hidup. Selain itu, ruang publik menjadi suatu tempat bagi berkembangnya pemikiran masyarakat dengan budaya egaliter dan partisipatif sesuai asas demokratis.
Habermas pernah menyebutkan bahwa, ruang publik harus memenuhi dua syarat, yakni bebas dan kritis. Bebas di sini memiliki yang mana setiap pihak dapat berbicara di mana pun, berkumpul, serta berpartisipasi dalam debat politis. Sedangkan kritis berarti siap dan mampu secara adil dan bertanggung jawab menyoroti segala proses pengambilan keputusan yang bersifat publik. Hal ini pun sejalan dengan hakikat demokrasi yang dinyatakan oleh James S. Fishkin di mana demokrasi memberikan suara kepada masyarakat dan memberikan ruang bagi rakyat untuk menemukan penyelesaian masalahnya. Hal ini lah yang merupakan bagian esensial dalam demokrasi, namun tak jarang dimaknai berbeda dalam penerapannya. Dan suara dalam demokrasi ini didefinisikan sebagai kesempatan bagi setiap warga negara sebagai individu untuk memberikan arahan kepada kebijakan negaranya berdasarkan keinginan serta aspirasinya. Namun pada kenyataannya, di Indonesia sendiri, konsep mengenai ruang publik yang kental akan demokrasi ini masih menjadi angan-angan. Kasus PLTSa ini pun menjadi penguat fakta tersebut. Memang benar masyarakat dibiarkan pemerintah untuk mengeluarkan suaranya, menggelar berbagai aksi penolakan hingga ke depan gedung DPRD, bahkan melalui jalur advokasi dari berbagai LSM. Tetapi, apa guna semua perjuangan bertahun-tahun tersebut jika nyatanya pemerintah hanya mendengarkan dengan kuping kanan dan keluar kuping kiri. Tentunya tanggapan pemerintah sangat jauh dari kata cukup dalam penanganan aspirasi masyarakat sampai-sampai salah seorang rakyat bersaksi bahwa pemerintah seperti tidak peduli akan tindakan mereka. Terlebih, ada wacana yang terdengar bahwa pembangunan PLTSa ini akan diaktifkan kembali. Oleh karena itu, jelas sudah bahwa demokrasi di Indonesia masih jauh dari kata sempurna dan masih perlu banyak perbaikan agar mampu mencapai kesejahteraan rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H