Kesusasteraan dan jurnalistik pada saat ini memang begitu bebas dan terbuka, membuat siapa saja dapat berkata dengan opininya. Seruan 'jaga lidahmu' yang terngiang-ngiang di benak para redaksi pada tahun 1972 pun sudah kian pudar di telinga. Namun, pernahkah kita bertanya-tanya bagaimana babak baru ini bermula dan siapa yang mempromotorinya ?
Perjuangan para sastrawan dan jurnalis negeri pada masa Orde Baru menjadi sebuah proses yang cukup bersejarah bagi masa depan sastra dan jurnalistik Indonesia karena memiliki pengaruh yang cukup signifikan bagi keadaan sastra dan jurnalistik pada masa kini. Goenawan Soesatyo Mohamad atau yang akrab disapa Goenawan Mohamad atau GM adalah salah satunya.Â
Sastrawan asal Jawa Tengah ini telah mendapatkan banyak penghargaan di bidang sastra dan jurnalistrik salah satunya adalah Anugerah Sastra Mastera pada tahun 2018 di Brunei Darussalam.Â
Penghargaan tersebut diberikan untuk tokoh dalam bidang sastra dari negara berbahasa melayu yang dinilai mampu membuat perubahan di negeri asalnya.
GM merupakan sosok penyair dan sastrawan kondang yang menjadi salah satu korban dalam masa gelap tahun 1960-an. Sebagai salah satu penandatangan Manifesto Kebudayaan atau MANIKEBU, tentu GM menjadi sasaran bagi LEKRA (Lembaga Kebudajaan Rakjat).Â
LEKRA yang didirikan pada 17 Agustus 1950 oleh D.N. Aidit bersama ketiga rekannya yaitu Nyoto, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta dinaungi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang membuatnya menjadi organisasi nomor satu bagi para penulis dan seniman termahsyur Indonesia pada saat itu seperti Pramoedya Ananta Toer, Rivai Apin, dan Hersri Setiawan.Â
Kekuatan LEKRA juga ditambah dengan keberpihakan pemerintah pada LEKRA membuat organisasi ini jadi nomor satu. LEKRA yang merupakan organisasi kebudayaan sayap kiri memiliki tujuan mendorong seniman dan penulis untuk mengikuti doktrin realisme sosialis. Hal ini yang membuatnya bertolak belakang dengan paham MANIKEBU.
Manifesto Kebudayaan yang diprakarsai oleh Goenawan Mohamad, Taufiq Ismail, dan 20 tokoh lainnya menjadi bentuk respon terhadap eksistensi LEKRA.Â
Dengan mengusung paham humanisme universal para tokoh yang tergabung mengatakan bahwa seni tidak berada di bawah politik atau sektor-sektor lainnya.Â