Mohon tunggu...
MOCHAMAD ROZIKIN
MOCHAMAD ROZIKIN Mohon Tunggu... Human Resources - Senior Staff Human Resources and General Affair

Saya sedang giat menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Sendu

29 Oktober 2023   13:35 Diperbarui: 29 Oktober 2023   13:49 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kyoto. Kamis, 28 Desember 2000.

Assalamualaikum semuanya. Maaf, setelah sekian lama baru kutulis kabar dari tanah rantau yang jaraknya kurang lebih lima ribu kilometer dari rumah. Bukan karena aku sibuk atau tak sempat. Tapi sengaja agar suratku berlembar-lembar dan kalian tak bisa selesai membaca dalam waktu singkat. Mungkin butuh beberapa kali waktu sore menunggu mangrib, di saat semuanya luang. Atau harus menunggu hari Jumat saat semua berkumpul di rumah.

Entah nama siapa yang harus kutulis di amplop surat, aku tak ingin hanya menyebut satu nama saja di antara kalian, tentu saja karena aku menyayangi kalian dengan porsi yang sama. Tidak, ibu lebih banyak, jadi kutulis kepada--Ibu Nur--saja. Yang pasti, rasanya rindu meradang hingga tak kuat lagi aku merasakan sakitnya. Kalian pernah lihat orang-orang memanggul karung di pasar? Seperti itu aku berjalan setiap hari. Namun bukan beras atau tepung jagung yang kubawa di pundak, tapi rindu. Rindu pada kalian semua tentu saja.

Sebelum aku menceritakan bagaimana rasanya menjadi anak rantau di negeri matahari terbit ini, aku ingin sekali tahu bagaimana kabar kalian? Bagaimana kabar Ibu tanpa anak kesayangannya? Bagaimana kabar Bapak tanpa anak yang katanya akan menjadi penerus keluarga? Bagaimana kabar Mbak Alya tanpa musuh perangnya di rumah, atau tanpa teman bersekongkol pulang sore setelah pulang sekolah dengan alasan mengerjakan tugas kelompok padahal pergi ke pasar tiban untuk menghabiskan uang saku? Ah... Aku benar-benar rindu. Aku rindu menemani Ibu merawat tanaman sebelum aku berangkat sekolah. Di pagi hari yang sejuk ditemani nyanyian khas burung perkutut milik Bapak yang di jemur di bawah matahari yang baru saja terbit. Di dapur, biasanya Mbak Alya membuat nasi goreng ala dia yang menjadi favorit keluarga meskipun lebih sering keasinan. Tak hanya itu, aku juga telah rindu pada setiap sudut di rumah kita. Setiap isi rumah yang menjadi bagian hidupku dari kecil menuju remaja.

Sekarang, biar kutebak. Kalian juga merindukanku, bukan? Apa kalian sering membicarakanku? Pasti sangat menyenangkan, duduk di teras rumah ditemani ubi rebus dan kolak pisang yang dibuat sendiri oleh Ibu. Dan pasti aku yang selalu menjadi topik pembicaraan kalian, kan? Aku sudah tahu itu. Seperti ketika Mbak Alya pergi berkemah saat dia duduk di kelas dua sekolah menengah, Ibu dan Bapak mengkhawatirkan dan tak henti-hentinya membicarakan Mbak Alya seakan dia sedang pergi berperang di tanah konfik. Kalian sangat takut ketika anak-anak jauh dari kalian, kan? Tapi jangan khawatir padaku, Pak, Bu. Walaupun aku pergi lebih jauh dari Mbak Alya, aku sudah lebih besar dan dewasa. Dan juga, aku anak laki-laki yang suatu saat nanti akan mengangkat derajat keluarga kita.

Di sini, aku bisa hidup dengan baik meski hari-hariku semakin berat. Tentu saja karena membawa rindu yang tak pernah menyurut dan hanya semakin menggunung. Langkah-langkah yang kujalani setiap saat adalah langkah menuju pada mimpi Ibu yang menginginkan aku menjadi seorang sukses dalam hal pendidikan, pada mimpi ayah yang menginginkanku menjadi seorang yang hebat dalam bidang yang kusukai. Dan tentu saja aku juga ingin membuat Mbak Alya bangga karena memiliki adik sepertiku--yang tentu saja lebih cerdas dari kakaknya.

Awalnya, aku hanya makan sesuap dua suap karena tidak cocok dengan makanan di sini. Tak ada urap nangka atau terong bakar buatan Ibu, atau paling tidak Indomie goreng. Semua makanan hanya dibumbui dengan kecap asin. Jika kalian di sini, aku yakin pasti kalian ingin segera pulang karena tak ada cabai dan bawang juga di sini. Bagaimana bisa Ibu makan tanpa cabai? Iya kan?

Tapi perlahan setelah melewati bulan pertamaku. Setiap makan, seolah aku sedang makan masakan Ibu yang aku pikir belum ada duanya di dunia ini. Aku belanja bahan makanan dan memasak sendiri di apartemen. Tentu saja karena aku sering memperhatikan ibu memasak dan belajar dengan giat. Kebetulan temanku tak bisa memasak, kami telah sepakat bahwa aku yang akan memasak untuknya dan dia mengeluarkan uang untuk belanja. Dia juga mengatakan masakanku mirip yang pernah dia beli di warung Sunda di dekat rumahnya.

Namanya Teguh, dia orang asli Bandung. Orang tuanya guru sekolah menengah. Aku bertemu dengannya di Stasiun Kansai setelah beberapa jam kami tiba di bandara. Kaca matanya tebal dengan rambut belah pinggir sangat rapi dibanding denganku si kribo kesayangan Ibu. Gaya berpakaiannya juga mengikuti tren, dengan kaos berkerah dimasukan ke dalam celana jins merk terkenal. Sepatunya tak kalah membuat kasta berpakaiannya beberapa tingkat di atas aku. Pokoknya, kesan pertamaku pada Teguh sangatlah berkelas. Jika kami berdiri bersanding, mungkin saja orang akan menyangka bahwa aku adalah seorang pesuruh atau orang lain yang tidak saling mengenal bahkan. Begitulah kami berbeda.

Kami dijemput oleh seorang staff dari tempat kami kuliah lalu dibawa dari Kansai menuju Kyoto setelah dua puluh menit menunggu. Sepanjang perjalanan, dia bercerita banyak tentang tempat-tempat indah yang ada di Kyoto dan banyak hal tentang perkuliahan di Jepang yang seakan sangat menyenangkan agar kami betah tinggal di sini. Itu karena beberapa tahun terakhir banyak mahasiswa dari Indonesia yang memilih kabur dan bekerja secara ilegal. Dia juga menawarkan pada kami untuk tinggal bersama. Aku tahu itu akan memudahkan pekerjaanya karena tidak harus mencari dua tempat tinggal dalam satu waktu. Aku langsung setuju saja. Begitu juga dengan Teguh yang menjawab dengan mengangguk beberapa kali. Dia terlihat kalem dan sopan. Sepertinya kami akan cocok jika menjadi teman seperjuangan sampai empat tahun mendatang. Akhirnya dibawalah kami menuju sebuah apartemen tak jauh dari kampus, setelah staff kampus Bernama Nisida tersebut mengajak kami makan di restoran Jepang. Tentu saja dengan makanannya yang tak bisa tercerna dengan baik di dalam lambungku.

Aku selalu mengingat pesan Bapak dan Ibu. Jadilah baik di mana pun kita berada. Begitu kan? Jika aku tidak salah. Hari pertamaku jauh dari rumah berjalan dengan baik meski aku terus mengepalkan kedua tanganku yang dingin karena sangat gugup. Bagaimana dengan kalian? Bagaimana rasanya hari pertama tanpa anak bungsu di rumah? Aku baru menyadari ketika langkah kita tak searah dan kian menjauh. Lambaian tangan Ibu terus menjadi pusat pandanganku hingga pintu pengecekan imigrasi menjadi penghalangnya. Rasanya ingin sekali membatalkan penerbangan kala itu dan berlari mengejar kalian. Aku ingin sekali pulang dan membiarkan diriku tak pernah menjadi apa pun, asal aku bisa selamanya bersama kalian di rumah, hidup dengan sederhana penuh kasih sayang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun