Dia begitu anggun ku lihat-lihat. Matanya yang terpejam dan merintih. Membuat aku semakin cinta dan sayang padanya. Dia begitu lesu, menggelinjang dan air mata mengucur dipipinya. Apa aku terlalu sadis padanya? Apa aku juga terlalu keras menggenggam tangannya? Dia begitu terasa dingin. Keringatnya memandikan seluruh badannya. Aku hanya menuturkannya dengan sebuah taklil 'Laa Ilaaha Ilallah Muhammada Rasullullah' ditelinganya. Aku tak tahan dengan air mata ini. Begitu beratnyakah ketika sang ajali datang menjemput?. Dan akhirnya orang disekitar berkata 'Innalillahi Wa Inailaihi Rajiuun'. Aku berteriak histeris. Jangan tinggalkan aku sayang. Aku mencintaimu.
Tak lama setelah dia memperjuangkan nyawa terakhirnya. Ku lihat dia semakin cantik dengan pakaian barunya. Aku semakin tak sanggup ditinggalkanya. Namun aku pernah ingat terakhir kata-kata manis yang tersirat dari bibir manisnya 'biarpun aku pergi, tapi aku akan tetap bersamamu dengan cerita yang pernah kita lalui bersama'.
Akhirnya kini ku sadari. Bahwa cinta itu memang tak harus ku miliki sekarang. Tapi cinta dan kenanganya akan selalu ada dalam hati dan pikiran. Sebuah kado terindah yang terakhirku padamu yaitu tuturan adzan didepan pusaran rumah barumu. Selamat tinggal sayang, kamu adalah cerita hidupku.
"zZzzZzZZzzZ"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H