Tren yang akhir-akhir ini sedang menjalar ke setiap kalangan dari sudut daerah Jabodetabek, yakni "Citayam Fashion Week" yang isinya adalah sebagai wadah atau ruang mereka dalam mengekspresikan ide kreatifnya dalam berpenampilan dengan gaya nyentrik atau sekadar arena untuk eksistensi diri.Â
Kegiatan yang dipelopori oleh pemuda Bernama "Ale" ini, dengan cepatnya menyita perhatian para netizen karena ramainya di laman media sosial serta tak sedikit, banyak yang berkomentar menyerupai tren fashion week di Harujuku Jepang. momentum tersebut membuat para publik figur macam artis, konten kreator berbondong-bondong mendatangi kawasan Sudirman Jakarta pusat, tempat berlangsungnya Citayam Fashion Week. yang dari hanya sekadar beswafoto sampai saling bergantian membuat konten pun ada beragam. bahkan tak ingin ketinggalan tren Citayam Fashion Week, para pejabat publik pun tak luput dari pemberitaan saat mendatangi Citayam Fashion Week, mulai dari Gubernur Jawa Barat Kang emil dan Gubernur DKI Jakarta Pak Anies serta tak sedikit dari pejabat publik sampai Presiden Pak Jokowi pun memberikan komentar dan tanggapannya perihal tren yang sedang hangat diperbincangkan ini.
Setelah berlangsung beberapa hari, respon yang pro dan kontra dari adanya fenomena Citayam Fashion Week pun mulai muncul beragam, mulai dari diangkatnya 2 "selebritis" Citayam Fashion Week jadi duta sampah DKI, lalu ada pemberian beasiswa kepada salah satu konten kreator dari Menteri Parekraf, Pak Sandiaga uno. disisi lain, tren tersebut menimbulkan kemacetan karena dilakukan di jalanan yang dapat mengganggu pengguna jalan atau masalah lainnya seperti sampah yang berserakan di sekitaran Kawasan tersebut, bahkan adanya remaja yang tepergok tidur di emperan Kawasan dukuh atas yang bisa saja mengganggu fasilitas dan kenyamanan publik.Â
Terakhir, yang sedang ramai diperbincangkan, perihal tren Citayam Fashion Week  yang didaftarkan oleh salah satu artis Ibu Kota ke Kemenkumham dalam bentuk HAKI, menuai banyak polemic serta tanggapan pro kontra, tapi tak sedikit yang mengecam, salah satunya Gubernur Jawa Barat, Kang Emil yang memberikan nasihat lewat unggahannya di media sosial, "Nasihat saya tidak semua urusan di dunia ini harus selalu dilihat dari sisi komersial. Fenomena Citayam Fashion Week itu adalah gerakan organik akar rumput yang tumbuhkembangnya harus natural dan organik pula" kata Kang Emil. dan banyak juga yang memandang hanya bersifat memanfaatkan tren untuk kepentingan Bisnis semata.
Selain itu, beragam dampak positif dan negatif pun muncul, ditengah gencarnya tren Citayam Fashion Week, dampak positifnya adalah adanya ruang ekspresi serta sebagai bagian dari pembentukan budaya baru yang dilakukan oleh kalangan muda yang patut diapresiasi. Mengekspresikan diri melalui fashion dengan memanfaatkan ruang publik di pusat kota merupakan cara yang inovatif sebagai pilihan budaya baru.Â
Dengan mayoritas remaja yang berasal dari keluarga kelas menengah ke bawah yang tak perlu tampil mahal dan mewah, tapi mereka berani tampil dengan percaya diri dengan penampilannya yang nyentrik. Disisi lain, dengan adanya tren Citayam Fashion Week memberikan dampak negatif juga, yakni menjadi ajang atau panggung bagi para remaja yang memiliki kecenderungan disorientasi seksual, tak sedikit banyak remaja yang berpenampilan atau berpakaian berlawanan dari apa yang menjadi kodratnya, tentunya hal tersebut menjadi catatan atau kekhawatiran kita Bersama, ketika ruang ekspresi publik dijakadikan panggung atau sarana normalisasi dari yang sifatnya penyimpangan.
Tapi terlepas dari itu semua, kalau menggunakan perspektif kebijakan publik, sebenarnya tren tersebut juga muncul dampak dari tidak efektifnya dari sebuah kebijakan publik pemerintahan terkait, karena kebanyakan remaja yang datang ke Kawasan Sudirman adalah masyarakat yang berasal dari daerah penyangga ibu kota seperti Bekasi, bojonggede, depok dan daerah lainnya. yang notabene bukan termasuk dari daerah DKI Jakarta tempat mereka memilih tempat hiburan.Â
Jarak mereka untuk mencapai daerah Sudirman juga lumayan jauh. dengan menggunakan layanan MRT, mereka baru bisa menjangkau tempat hiburannya. Beberapa penuturan dari pemuda yang diwawancara, alasannya memilih Kawasan Sudirman untuk mencari hiburan diluar rumah selain tempatnya ramai dan nyaman adalah masih sedikitnya ruang-ruang publik di daerahnya untuk mereka bereskpresi yang menyebkan lebih memilih Kawasan Sudirman untuk mencari hiburan, nongkrong atau sekadar menunjukan eksistensi diri. kalau berkaca dari daerah di negara lain, seperti di berlin jerman yang memiliki 44% ruang terbuka hijau, dimana masyarakatnya dapat dengan leluasa melakukan aktivitas atau berkegiatan lainnya. Sedangkan ruang publik di Jakarta dan daerah penyangga lainnya hanya memiliki kurang dari 10% ruang terbuka hijau. Hal tersebut jelas sangat berbanding terbalik bagi kebutuhan fasilitas publik.Â
Tentu kaitannya dengan kebijakan publik adalah harus adanya dorongan untuk pemerintah daerah terkait khususnya, serta daerah-daerah lain di Indonesia untuk menyediakan ruang-ruang fasilitas publik yang sama bagi masyakaratnya untuk melakukan berbagai rangkaian kegiatan dalam rangka berekspresi atau eksistensi diri.Â
Menurut salah satu tokoh kebijakan publik, James E. Anderson, berpendapat bahwa "kebijakan publik pada dasarnya mempunyai tujuan dalam rangka mememenuhi kepentingan masyarakat yang akhirnya untuk meningkatkan kualitas hidupnya." Itu selaras bagi aspek pemenuhan fasilitas publik khususnya para pemuda. Tapi tetap, kalaupun ada pembuatan fasilitas dan ruang publik untuk masyarakat harus disertai dengan pengawasan dan aturan yang sistematis dan relevan, karena kebijakan publik tidak berdiri sendiri dan terpisah dengan kebijakan lainnya, tetapi bersifat adaptif, integratif antara keputusan dan tindakan yang dilakuka lembaga pemerintahan.