Mohon tunggu...
Aly Taufiq
Aly Taufiq Mohon Tunggu... Guru - Pemuda biasa yang selalu bahagia

Pemuda biasa yang selalu bahagia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Setelah Balik ke NU, PMII Mau Diapakan?

22 April 2015   19:55 Diperbarui: 31 Mei 2020   23:53 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Moch. Aly Taufiq

Sejak tahun 2010, PBNU telah menghimbau agar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) kembali menjadi Badan Otonom (Banom) NU. Wacana ini makin mengemuka menjelang pelaksanaan Muktamar NU ke 33 di Jombang, Agustus 2015. 

Dari berbagai informasi di media, ada empat alasan yang melatarbelakangi munculnya seruan itu. Pertama, alasan ideologis. PMII saat ini dianggap jarang menjalankan ajaran Aswajaselalu berkecimpung di ranah politis dan tak lagi memikirkan sistem kaderisasi(0kezone, 2/4/2011). Alasan yang hampir sama diungkapkan oleh KH Hasyim Muzadi saat membuka Kongres IPNU-IPPNU di Pesantren Al Hikmah Brebes. Ia mengeluhkan PMII tidak optimal melakukan proses kaderisasi NU di tingkat kampus, dan banyak kader yang mulai meninggalkan tradisi nahdliyin. Apakah mereka masih layak ‘dititipi’ (menjaga dan melestarikan tradisi) tahlil?” kata Hasyim (NU Online, 22/6/2009).

Kedua, Alasan Etis. Kader PMII dianggap liar, moralnya gak baik, lebih banyak di jalanan dari pada mengurusi urusan akademik. (NU Online, 20/6/2009). Ketiga, alasan historis. PMII dulu lahir dari NU, dan menyatakan diri independen karena NU menjadi partai politik. Saat ini, NU tidak berpolitik lagi, sehingga independensinya dianggap kehilangan konteks.

Kebenaran tiga alasan tersebut sebenarnya masih butuh pembuktian. Toh masih banyak kader PMII yang menjadi pembela aswasja di berbagai majlis dan masjid, menjadi akademisi dan tidak berpolitik, menjadi penulis dan enggan di jalanan, serta banyak juga pengurus cabang yang “mesra” dengan PCNU “urup-urup” tradisi Nahdliyyin. 

Terlepas benar tidaknya tuduhan tersebut, menurut saya, ada yang lebih penting dalam menyikapi seruan itu. 

Sejauh ini, himbauan PBNU hanya diutarakan lewat lisan, baik melalui statemen di media, maupun pidato-pidato pimpinan PBNU. Statemen itu dilontarkan dengan alasan kasuistik, terkesan sedikit emosial, bahkan diikuti dengan ancaman membuat banom di tingkat mahasiswa. 

Seharusnya, PBNU membuat dasar pemikiran serta master plan tertulis. Agar jelas, mau diapakan PMII setelah gabung dengan NU? Bagaimana nasib kader PMII yang berasal dari Muhammadiyah? Bolehkah PMII merekrut anggota non muslim? Bagaimana status KOPRI PB PMII dan seperti apa sinergisitasnya dengan Fatayat, Muslimat, dan IPPNU? Pembagian tugas yang dikehendaki sepeti apa? dan masih banyak serentetan pertanyaan yang perlu dijawab oleh PBNU.

Bagaimana PMII bisa mengambil sikap dengan bijak, jika masih banyak pertanyaan yang belum terjawab. 

Tak heran jika banyak kader PMII bingung. Ada yang bereaksi keras menolak, ada pula yang menerima tanpa alasan. Hingga saat ini, PB PMII juga masih gamang, tak mampu bersikap.  Andaikan saja PBNU mempunyai dasar pemikiran konseptual serta master plan tertulis, tentu akan sangat mudah bagi seorang “anak” menyikapi “seruan “bapaknya”. Master plan itupun akan menjadi dasar PB PMII untuk mengumpulkan seluruh pengurusnya se-Indonesia, menentukan satu sikap, menolak atau menerima.

***

NU dan PMII adalah organisasi yang mempunyai cita-cita serta Visi Misi sama. Keduanya adalah gerakan “ideologis” sekaligus gerakan “etis”. Sama-sama memperjuangkan ideologi aswaja dengan menanamkan Islam yang ramah dan toleran. Juga sama-sama ingin menanamkan nilai-nilai moralitas kepada seluruh bangsa.

Meskipun secara struktural terpisah, keduanya mempunyai hubungan kultural yang sangat kokoh, bahkan lebih kokoh daripada hubungan NU dengan beberapa Banomnya. Keduanya telah terjalin simbiosis-mutualis yang sangat mapan. 

Struktur PBNU hingga saat ini didominasi oleh alumni-alumni PMII, sebut saja K.H Nuril Huda, Prof. Dr, Nasaruddin Umar, Slamet Efendi Yusuf, Nusron Wahid, Khofifah Indarparawansa, Abdul Mun’im DZ, Ngatawi Al Zastrou, Ida Fauzia, Siti Masrifah dll mereka adalah alumni PMII yang menjadi think thank NU. 

Lalu apa yang perlu dikhawatirkan dengan hubungan keduanya? Biarlah hubungan yang ada berjalan seperti saat ini. Keduanya saling membesarkan dengan segala potensi masing-masing.

PMII adalah organisasi pergerakan yang sangat dinamis dan kritis. Ruang “kebebasan” yang ada, meskipun dalam hal tertentu menyebabkan keliaran, akan mendewasakan kader. Menjadikan PMII sebagai Banom NU, sedikit banyak akan melemahkan daya kritisnya, melemahkan daya tawarnya, serta mendelegitimasi apa yang telah diperjuangkan. 

Jika saja dengan terpaksa NU mengadopsi “anak” lagi, dan PMII terbuang menjadi “gelandangan”, biarlah sejarah yang mebuktikan. Toh setiap “anak dewasa” harus bisa menentukan jalannya sendiri, bukan? PMII akan tetap memperjuangkan  cita-cita “ayahnya”. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun