Mohon tunggu...
Aly Taufiq
Aly Taufiq Mohon Tunggu... Guru - Pemuda biasa yang selalu bahagia

Pemuda biasa yang selalu bahagia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Membedah Teori Kritis Habermas

25 Februari 2011   09:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:16 10274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh : Moch. Aly taufiq

Jurgen Habermas tidak diragukan lagi merupakan filsuf Jerman terpenting saat ini. Tulisan-tulisannya sejak lebih 20 tahun dibicarakan di Fakultas-Fakultas filsafat Eropa kontinental. Mempelajari Habermas bukan hal yang mudah. Gagasan-gagasannya biasanya tidak diutarakan secara langsung, malainkan selagi membahas pikiran orang lain. Dengan leluasa dia berdialog dengan Thomas Aquinas, Kant, Fichte, Hegel, Marx, Comte dengan Freud dan Dilthe, dengan Pierce, Kohiberg dan banyak tokoh lain. Itulah yang membuat bacaan Habermas begitu berat. Sering kita merasa seakan-akan langsung dilemparkan kedalam sebuah pembiaran yang sudah sedang berjala, dimana semua istilah khusus diandaikan sudah diketahui. Habermas tidak mengambil pusing menjelaskan kepada pembaca metode pendekatannya. Bahasanya sulit dan sangat teknis.......(Franz Magnis Suseno).

Memang benar, rasanya sangat kikuk mengatakan tidak sulit untuk memahami pemikiran Habermas. Sesuatu yang dibicarakan Habermas sama sekali tidak pernah terbesit di pikiran kita, bahkan kesadaran kitapun tidak pernah sampai, apa yang dibicarakan masih berada di luar kesadaran kita, atau sekurang-kurangnya, kalau ada, baru menjadi kesadaran segelintir orang yang punya waktu untuk merenung.

Epistemologi Teori Kritis

Teori kritis, dewasa ini mempunyai peran penting dalam ilmu sosial, kepeduliannya terhadap emansipasi dan penindasan menjadikan teori ini semakin digemari oleh mahasiswa di Jerman. Adalah madzab frankfrut atau Frankfruter School lembaga yang mengambangkan teori kritis sebagai alat refleksi diri untuk keluar dari dogmatisme baru.

Beberapa agenda Frakfruter School adalah menyingkap penindasan yang mengatasnamakan rasionalisasi, menyingkap irrasionalisme ideologi, dan membangun masyarakat komunikatif yang tidak ada dominasi, represi dan paksaan. Oleh sebab dominasi selalu terselubung di balik rasionalisasi, ideologi dan dogma-dogma, maka terlebih dahulu Frankfruter School menelanjangi term tersebut.

Teori kritis merupakan sebuah metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Teori kritis tidak hanya berhenti pada data-data atau fakta-fakta obyektif seperti yang dianut positifisme, akan tetapi menembus di balik realitas sosial untuk menemukan kondisi-kondisi yang timpang. Akan tetapi teori kritis tidak melayang-layang pada metafisika dan meninggalkan data empiris, tetapi berdialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan yang bersifat empiris.

Teori kritis merupakan ideologi kritik, yaitu suatu refleksi-diri untuk membebaskan pengetahuan manusia bila pengetahuan itu jatuh dan membeku pada salah satu kutub, yaitu transendental atau empiris.

Sebelum membahas definisi kritik, perlu diketahui bahwa ilmu pengetahuan, menurut Habermas, dibedakan menjadi tiga kategori dengan tiga macam kepentingan yang mendasarinya. Pertama, kelompok ilmu empiris, adalah ilmu alam yang menggunakan paradigma positivisme, kepentingannya adalah menaklukkan, menemukan hukum-hukum dan mengontrol alam. Kedua, ilmu-ilmu humaniora, yang memiliki kepentingan praktis dan saling memahami, seperti ilmu pengetahuan sosial budaya. Kepentingan ilmu ini bukan untuk mendominasi atau menguasai, juga bukan membebaskan, tetapi memperluas saling pemahaman. Ketiga, ilmu kritis yang dikembangkan melalui refleksi diri, sehinga melalui refleksi diri, kita dapat memahami kondisi-kondisi yang tidak adil dan tidak manusiawi dalam kehidupan. Kepentingannya adalah emansipatoris.

Dari pembagian tersebut, dapat dipahami bahwa kritik berarti refleksi-diri. Menurut Kant, kritik adalah mempertanyakan The conditions of possibilities dari pengetahuan kita. Epistemologi kritik Kant digunakan untuk merefleksikan secara kritis seluruh pengetahuan kita. Wilayah penyelidikannya tidak terbatas hanya pada ilmu pengetahuan, melainkan seluruh pengetahuan dan pengetahuan secara keseluruhan. Kritik, bagi Kant menjadi mahkamah yang mengadili dan merefleksikan secara kritis pengetahuan, sehingga kritis menjadi dasar yang paling mutlak bagi pengetahuan kita.

Epistemologi ini dikritik oleh Hegel. Menurut Hegel, kritis adalah refleksi atau refleksi-diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dari rasio dalam sejarah. Hegel mencoba meradikalisasikan teori kritis Kant yang masih melambung. Hegel melontarkan pertanyaan, apakah kritik pengetahuan yang dilontarkan Kant itu sendiri bukan suatu pengetahuan? kritik pengetahuan yang dirumuskan oleh Kant telah terjebak pada lingkaran setan, karena Kant memposisikan teori kritik pada tempat yang absolut, padahal teori kritik tersebut adalah pengetahuan yang perlu direfleksikan dengan kritis. Artinya teori kritikpun perlu dikritisi. Oleh sebab itu, teori kritis – untuk lolos menjadi pengetahuan—harus bersifat epistemologis dan historis. Menurut Hegel, Kant telah mendirikan mahkamah pengetahuan tanpa memikirkan asal-usul mahkamah itu sendiri.

Atas dasar kritik Hegel tersebut, Habermas merumuskan teori kritik yang memihak pada emansipatoris. Teori kritik Frankfruter School mempunyai empat karakter. Pertama, teori kritik bersifat historis. Artinya dikembangkan berdasarkan berdasarkan situasi masyarakat kongret. Kedua, Teori kritis juga bersifat kritis terhadap dirinya sendiri. Ketiga, memiliki kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual. Keempat, teori kritis merupakan teori bermaksud praktis.

Habermas ; Kritik Atas Rasionalisasi

Habermas mengkritik rasio untuk menyingkap kepentingan ilmu pengetahuan. Karena melalui rasio, ilmu pengetahuan menjustifikasi diri bahwa dirinya netral, bebas dari kepentingan. Rasiolah yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan netral, rasio atau ilmu pengetahuan ilmiah selalu mengatakan dirinya paling obyektif.

Saat ini, hampir setiap negara mengarahkan proses modernisasi kearah rasionalisasi atau apa yang disebut "kebudayaan ilmu modern". Habermas mempersoalkan kembali makna rasio yang lazim dianut dalam masyarakat, yakni rasio berfungsi sebagai alat netral untuk mengoprasionalkan sebuah sistem. Adalah yang rasioanal itu operasional, efektif, efisien, dapat diotomatisasikan, penguasaan lewat tombol kontrol. Penilaian moral, agama dan hasrat pembebasan dianggap mengusir kenetralan rasio. Jika ingin mendapatkan teori yang rasional dan netral, maka tinggalkan prasangka pribadi, tinggalkan penilaian moral, tinggalkan kebudayaan, tinggalkan ideologi agama, tinggalkan rasialisme, karena semua itu dapat mempengaruhi kenetralan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus bebas nilai, bebas kepentingan, harus berdiri sendiri, harus melepaskan rasa kasihan, harus melepaskan apa yang ada disekirtarnya. Rasio adalah murni menggunakan mekanisme yang masuk akal.

Pandangan seperti ini dikritik oleh Habermas. Karena menyebabkan teori terlepas dari praktis yang disebabkan oleh tuntutan netralisme tersebut. Peran teori dalam membimbing tingkah laku seseorang sudah hilang. Dalam filsafat Yunani, seorang filsuf membangun teori untuk menjadi tuntunan hidup. Misalnya socrtes, menciptakan teori kebenaran obyektif. Teori ini diciptakan agar menusia tidak bingung dengan subyektifisme yang selalu digemakan oleh kaum sofis. Sehingga teori mempunyai peran emansipasi pada tingkat praktis. Tetapi saat ini teori diterbangkan tinggi untuk meninggalkan praksis, demi menggapai klaim netral. Pandangan --bahwa rasional adalah ilmiah , teori harus independen, ilmu pengetahuan harus netral—inilah yang dikritik oleh Habermas.

Menurut Habermas, teori harus berpihak pada emansipasi yang bisa menuntun kehidupan praksis yang nantinya akan menghasilkan transformasi sosial. Yang dimaksud emansipasi adalah bukan semata-mata pembebasan dari kendala-kendala sosial, seperi : perbudakan, kolonialisme, kekuasaan yang menindas. Tetapi juga "ketidaktahuan". Seseorang dapat dikatakan mengalami emansipasi jika dia beralih dari situasi "ketidaktahuan" menjadi "tahu". Pengetahuan dan ketidaktahuan diukur menurut skala penilaian yang ada pada saat itu.

Menurut Habermas, dogmatisme adalah bentuk pengetahuan yang mapan, pada situasi sosial tertentu cenderung berkuasa menjadi juru tafsir satu-satunya yang benar atas realitas. Bentuk-bentuk pengetahuan itu lalu juga menyingkirkan tafsir-tafsir yang bertentangan, bahkan dianggap sebagai "Bid'ah". Sistem pengetahuan absolut dan totaliter adalah dogmatisme. Seorang yang memegang teguh sistem tertutup ini bisa dikatakan "tahu", tetapi dalam wawasan sistem yang berlaku itu. Apakah orang ini tahu kebenaran yang lebih luas dari pada sistem itu? dalam kata lain, orang tersebut mengalami ketidaktahuan justru karena kelekatannya pada sistem pengetahuan itu. Teori dan ilmu pengetahuan harus memberikan –kepentingan memberi—emansipasi kepada masyarakat, yaitu proses pencerahan atas "ketidaktahuan" akibat dogmatisme itu.

Dewasa ini, ilmu-ilmu positif dan teknologi diterapkan dan diperluas ke dalam berbagai bidang kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat. Kondisi semacam ini menyebabkan hubungan teori dengan praksis semakin meregang disebabkan karena mekanisme teknologi yang tidak perduli dengan emansipasi. Kegiatan-kegiatan prosdktif masyarakat dalam industri, teknologi, ilmu pengetahuan dan administrasi menjadi terkait dan saling menopang mengarah pada penaklukan alam atau "kontrol teknis atas alam". Semua ini menyebabkan praksis dimengerti sebagai penerapan-penerapan teknik-teknik yang diarahkan oleh rasio yang sekarang terwujud dalam ilmu pengetahuan itu, sehingga lama-kelamaan potensi sosial rasio, dalam ilmu pengetahuan direduksi ke kekuatan-kekuatan kontrol teknis.

Hal itu akan menyingkirkan potensi sosial ilmu pengetahuan untuk menghasilkan emansipasi sosial. Ilmu pengetahuan yang semula membantu mengarahkan proses perkembangan hidup manusia menjadi otonomidan tanggungjawabnya lama-kelamaan menyibukan diri dengan manipulasi teknis atas proses-proses alamiah. Rasio tidak lagi dipahami sebagai kemampuan kognitif untuk memanipulasi dan mengontrol alam. Dengan demikian pengertian "keputusan" yang dulunya dipertimbangkan yang matang sebagai perwujudan emansipasi sosial saat ini semakin menjadi otomatisasi dengan "tekan tombol", mesin sebagai otomatisasi keputusan sedangkan pertimbangan etis disingkirkan.

Dalam kehidupan kita, "dogmatisme" selalu dipertentangkan dengan "rasio", karena dogmatisme adalah prasangka-prasangka yang membuat pikiran menjadi rancu yang menyelubungi pikiran sejak masa kanak-kanak. Prasangka adalah sebuah kekeliruan atau kesesatan yang dianut oleh sebuah zaman dan tertanam dalam institusi-institusi sebuah masyarakat yang sesat. Sedangkan rasio bukanlah opini atau prasangka, melainkan pengertian yang dihasilkan dengan pengalaman dan belajar atau riset. Sedangkan setiap orang yang melakukan riset harus melepaskan penilaian ideologis, penilaian etnis, kepentingan ideologis, kepentingan agama dan kepentingan emansipatori. Bersamaan dengan itu, kepentingan, kecenderungan, spontanitas harapan, tanggapan terhadap penderitaan dan penindasan, hasrat untuk meraih otonomi yang dewasa, kehendak untuk emansipasi dan kebahagiaan untuk menemukan diri-semua itu disingkirkan dari riset/rasio dan dituduh sebagai faktor subyektif. Teori yang merefleksikan agama, moral, budaya dianggap dogmatis. Situasi semacam ini, disebut Habermas dengan pengasingan rasio dari kehidupan.

Pertanyaannya, apakah rasio yang sudah dipisahkan dari praksis itu benar-benar rasio yang netral? Justru menempatkan rasio pada tempat yang netral adalah kepentingan besar yang terselubung untuk membenarkan kontrol-kontrol teknis atas alam. Rasio –yang diasingkan ini—memihak pada kepentingan teknis untuk mengontrol, seperti efisiensi, kegunaan dan lain sebagainya. Rasio bila ditopang menjadi mekanisme-mekanisme mesin, justru menjadi "dogmatisme ilmiah" karena rasio ini anti terhadap dialog dengan kepentingan-kepentingan individu, bahkan jika sudah menjadi alat paten, sang pencipta mesinpun tidak bisa berdialog dengan mesin. Bahkan sang pincipta mesin harus mengikuti aturan-aturan mesin yang dia ciptakan sendiri. Sehingga "rasio" telah meninggalkan kepentingan emansipasi, moral, dan berpindah menuju kepentingan teknis.

Saat ini orang beranggapan bahwa dengan rasio teknologis, menusia mendapatkan kemudahan, kemerdekaan, serta mempunyai kekuatan untuk mendongkrak mitos-mitos tradisional yang menteror manusia. Akan tetapi ternyata rasio teknologis menjadi juru tafsir satu-satunya (mendominasi) seluruh fenomina sosial –tidak hanya alam—sehingga dia menjadi mitos dan ideologi baru yang total dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

Rasionalitas yang dibangun oleh kaum positivisme akhirnya memunculkan tragedi besar, karena mendewakan rasionalitasnya yang semula dianggap mampu memberikan kebebasan, dewasa ini justru terperangkap dalam jaringan birokrasi yang kehilangan makna serta aspirasinya sebagai mahkluk yang bermartabat.

Pertanyaan yang paling akhir adalah ; rasionalitas semacam apakah yang bisa menyebabkan transformasi sosial, kultural dan personal? Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu diulas pembagian rasionalitas. Menurut Habermas, rasionalitas terbagi menjadi tiga. Pertama, Rasionalitas Tindakan. Yaitu rasionalitas teknis yang mengacu pada perhitungan yang masuk akal untuk mencapai sasaran berdasarkan pilihan yang masuk akal dengan sarana teknis, teknologis, mekanis dan birokratis. Kedua, Rasionalitas Tujuan. Adalah rasio yang hanya mementingkan tujuan, dan tidak mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai isi kesadaran. Ketiga, Rasionalitas Nilai. Cirinya adalah orang yang bertindak dengan rasio ini mementingkan komitmen rasionalnya terhadap nilai yang dihayatinya secara pribadi. Setiap "rasionalitas" di atas berpotensi untuk menyebabkan perubahan. Akan tetapi rasio yang manakah yang melahirkan perubahan tanpa penindasan, represi dan tanpa merampas kemerdekaan? Adalah Rasio yang terakhir, karena rasio ini tidak menyingkirkan nilai etis serta moral dan dimungkinkan adanya komunikasi yang seimbang tanpa ada pemaksaan dan dominasi.

Habermas : Kritik-Ideologi.

Menurut Habermas, ideologi adalah manipulasi yang berbentuk tidak sadar. Ideologi selalu ingin mendominasi dan menang, ingin menunjukan bahwa dirinya yang terhebat. Oleh sebab itu, Luis Altusser mengatakan bahwa ideologi dapat dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan, bahkan Altusser menyetarakan –cara pelanggengan kekuasaan dengan—"ideologi" dengan cara "represif". Gramci berpendapat bahwa ideologi dapat digunakan sebagai alat untuk menghegemoni individu-individu yang tidak sadar.

Menurut Habermas, ideologi amat sarat dengan kepentingan. Oleh sebab itu, Habermas membagi kepentingan menjadi "Kepentingan Kutub Empiris" dan "Kepentingan Kutub Transendental". Yang pertama berkaitan dengan kondisi sosio-historis manusia sebagai spesies yang berkehendak. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan pengetahuannya yang bersifat normatif ideal. Kritik Ideologi bekerja dalam dua tataran ini. Yaitu untuk mencari pertautan keduanya manakala pemikiran manusia membeku pada salah satu kutub kepentingan tersebut.

Jika ideologi adalah sebuah cara pandang yang menghegemoni dan mengakar pada jiwa seseorang, maka dengan kritik--refleksi diri, individu akan memahami posisi diri sendiri, individu juga akan menyadari kepentingan untuk membebaskan diri dari kungkungan ideologi. Individu memiliki kemampuan untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab atau pendewasaan.

Masyarakat Komunikatif Sebagai Jalan Keluar.

Singkat kata, Habermas menawarkan sebuah masyarakat tanpa dominasi, paksaan dan bebas penguasaan. Dengan apa? Dengan komunikasi. Yaitu "komunikasi bebas penguasaan". Suatu komunikasi yang tidak terdistorsi secara ideologis. Bagaimana cara mengetahui bahwa suatu komunikasi bersifat murni dan bebas dari dominasi ideologi?yaitu komunikasi yang seimbang, setiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk melibatkan diri dalam perbincangan dan mengemukakan persetujuan-persetujuan, penolakan-penolakan, keterangan-keterangan, penafsiran-penafsiran, tetapi dengan tulus mengungkapkan perasaan-perasaan dengan sikap-sikap mereka tanpa pembatasan dari suatu kekuasaan. Komunikasi yang menghasilkan dengan konsensus-konsensus rasional yang dicapai oleh subyek-subyek yang berkompeten –ijma'--. Proses dialog itu ditempatkan dalam rangka proses menjadi dialog. Sebagai suatu arah umum, dialog itu mengerah pada suatu kebenaran sebagai konsensus. Lalu bagaimana mengetahui bahwa konsensus itu benar? Nabi SAW pernah bersabda ”Laa tajtami'uu ummati 'ala al-khoto', umatku tidak akan bersepakat dalam kesalahan.

Referensi :

-Fransisko Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta, Kansius, 1993

-Fransisko Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Yogyakarta, Buku Baik, 2004.

-Dr. Ahyar Yusuf Lubis, Dekonstruksi Epistemologi Modern, Jakarta, Pustaka Indonesia Satu, 2006

-Ignas Goldlizer, Teori-Teori Sosiologi Modern

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun