Sejak dilantik 31 Agustus 2014, saya sudah beberapa kali melakukan kunjungan kerja ke berbagai daerah: Jakarta dan Manado. Dengan tema yang sama, jaminan sosial kesehatan. Tiap warga negara, terutama rakyat miskin mendapatkan jaminan sosial kesehatan gratis. Dimana pemerintah yang telah membayar iuran kepesertaannya dalam BPJS Kesehatan.
Rakyat miskin benar-benar menjadi obyek politik kesehatan di era SBY Boediono maunpun era Jokowi-JK. Pada akhir dan awal dua pemerintahan ini, lahir dua program kesehatan yang tumpang tindih. Satu JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dan dua KIS (Kartu Indonesia Sehat). Sesungguhnya, dua program tersebut sama persis, hanya beda "casing" saja.
Hal tersebut salah satu bukti politik kesehatan yang semu. Semua ego, semua cari nama, semua tak mau mengalah, untuk memenuhi janji kampanye semu. Padahal, pelayanan kesehatan adalah fungsi dasar negara bagi warganya. Konstitusi mengamanahkan negara memberikan pelayanan kesehatan bagai warganya tanpa terkecuali. Kaya miskin sama-sama punya hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tersebut.
Jadi, amanah konstitusi ini yang gayung bersambut dengan kemauan politik setiap rezim pemerintahan untuk memperbaiki layanan kesehatan. Termasuk pemberian layanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin. Apalagi kemauan politik setiap rezim berbanding lurus dengan kepentingan politik rezim itu sendiri untuk menarik simpati rakyat dalam pemilu demokratis. Layanan kesehatan gratis menjadi "jargon kampanye" setiap kandidat calon.
Ironis, terkadang, kandidat calon tak benar-benar memikirkan bagaimana membumikan jargon kampanye menjadi program pemerintah yang aplikatif dan riil dirasakan rakyat. Rakyat selalu menjadi "korban" dari uji coba program antar pemerintahan yang tumpang tindih dan membingungan rakyat. Program JKN dan KIS ini salah satu contohnya.
Yang dibutuhkan oleh rakyat bukan "kartu", melainkan layanan kesehatan yang baik dan berkualitas. Kartu hanya "sarana" bukan "tujuan". Jaminan kepastian pelayanan kesehatan jauh lebih utama daripada kartu itu sendiri. Dinas kesehatan, rumah sakit, puskesmas, klinik kesehatan keluarga dan lain sebagainya adalah "muka" dari wajah layanan kesehatan pemerintah. Baik buruk, langsung bisa dirasakan oleh rakyat melalui layanan kesehatan yang tersedia di institusi kesehatan masyatakat tersebut.
Oleh karena itu, presiden dan wakil presiden yang baru semestinya tak perlu melaunching kartu baru, seperti KIS dan semacamnya. Kartu BPJS Kesehatan sudah cukup mewakili dari visi, misi dan program KIS Jokowi-JK. Dengan demikian, pemerintahan baru tinggal melanjutkan dan memperbaiki tata kelola layanan kesehatan sebagai manifestasi dari UU No 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Barangtentu, ini memiliki tujuan yang mulia. Antara lain:
pertama, menghindari program yang tumpang tindih. Sebab, program seperti itu memiliki implikasi bagi kesemrautan dan kekacauan sistemik dan birokratis.
Kedua, untuk menghindari double ID-card. Setiap warga hanya memiliki satu ID-card sebagai tanda kepesertaan dan kepastian mendapat jaminan layanan kesehatan.
Ketiga, untuk menghindari pemborosan anggaran, akibat program ganda dan identitas yang ganda tersebut. Prinsip, satu pos anggaran kesehatan hanya boleh membiaya satu kegiatan. Bukan anggaran ganda seperti sekarang. BPJS Kesehatan bersumber dari APBD. Sementara, KIS bersumber dari Corporate Social Responsibility (CSR) BUMN.