Mohon tunggu...
Moch Eksan
Moch Eksan Mohon Tunggu... -

Moch Eksan, lahir di Jember, 5 Maret 1975. Adalah putra ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Almarhum Maksum-Endang Yekti Utami. Tahun 1999, memperisteri Aida Lutfiah dan dikaruniai dua putra, Dzaki Rabbani Ramadhan (2004) dan Rizqina Syawala Fitri (2008).\r\n\r\nPendidikan dasar, menengah dan tinggi, semua ditempuh di kota kelahirannya sekaligus nyantri di pondok pesantren Nurul Islam Sempolan Jember dan pondok pesantren Miftahul Ulum Suren Jember. MI Nurul Islam Sempolan Jember (1987), MTs Miftahul Ulum Suren Jember (1990), MA Miftahul Ulum suren Jember (1993), dan STAIN Jember (1998). Sempat tiga semester, kuliah di Ilmu-ilmu Sosial Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya (2001-2002).\r\n\r\nAktif di organisasi semenjak masih sekolah sampai sekarang. Pernah menjadi ketua IPNU Ranting Sempolan (1992-1993), Ketua IPNU Anak Cabang Silo (1993-1994), Sekretaris Umum IPNU Cabang Jember (1994-1997), Ketua Bidang Kekaryaan HMI Cabang Jember Komisariat Sunan Ampel (1997-1998), Ketua Bidang Pembinaan Anggota HMI Cabang Jember (1999-2000), Litbang LDNU Cabang Jember (2000-sekarang), Ketua Takmir Masjid Jihadil Muttaqien Karang Mluwo Mangli Jember (2007-sekarang), Presidium Majlis Daerah KAHMI Jember (2011-2016), Ketua DPD Partai Nasdem Jember (2011-2016).\r\n\r\nSejak semester lima, ia sudah bekerja sebagai pemandu "Titian Senja" Akbar Top FM (1996-1997). Menjadi Guru PPKn SMK Wali Songo Rambipuji Jember (1998-2000), Guru Bahasa Arab, Ilmu Tafsir, Tata Negara dan Sosiologi MAN I Jember (1999-2001), Guru PPKn MA Miftahul Ulum Suren Jember (1999-2001), dan Dosen Luar Biasa Bahasa Arab dan Ilmu Sharaf STAIN Jember (1999-2001). Dosen Ilmu Sosial dan Budaya Dasar FKIP UIJ (2007-2008), KPU Kabupaten Jember (2003-2009), menjadi pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Nurul Islam 2 Mangli Jembar (2003-sekarang) dan Pesantren Alam Pedepokan Aziziyah Sadeng Lewissadeng Bogor (2010-sekarang). Pernah dua bulan, mengasuh Pondok Pesantren Kiai Ageng Besari Kertosari Ponorogo (Maret-Mei 2003).\r\n\r\nPrestasi yang pernah diraih: Juara II Dakwah Pemuda IPNU-IPPNU Cabang Jember (1994), Juara II Diskusi P4 Antar Perguruan Tinggi se-Kabupaten Jember (1995), Juara II Diskusi P4 Antar Perguruan Tinggi se-Kabupaten Jember (1996), Juara I Lomba Penyuluhan Keluarga Sejahtera BKKBN Kabupaten Jember (1996), dan wisudawan Prestasi I STAIN Jember Tahun Akademik 1998/1999.\r\n\r\nAktif dalam forum diskusi, baik sebagai narasumber, moderator maupun sebagai peserta, serta menjadi penceramah dan khotib Masjid Jamik al-Falah Mangli Jember, Masjid Nurul Iman Mangli Jember, Masjid Nurul Yaqin Mangli Jember, Masjid Jihadil Muttaqin Mangli Jember, dan Masjid Sunan Ampel STAIN Jember.\r\n\r\nSelain itu juga aktif menulis di berbagai media massa. Artikel dan resensinya pernah dimuat di Kompas, Jawa Pos, Surya, Sinar Harapan, Pelita, Suara Karya, Duta Masyarakat, www.kompasiana.com, www.mediaindonesia.com, Radar Surabaya dan Radar Jember. Pernah tercatat sebaga penulis tetap Radar Jember setiap hari Kamis (2001-2002), redaktur khusus Tabloid Swara (2002-2004), staf ahli Majalah Khittah (2006-sekarang), penulis tetap Bulletin al-Baitul Amien sebulan sekali (2007-sekarang), dan redaktur www.1titk.com (2010-sekarang).\r\n\r\nKarya tulis yang pernah diterbitkan Kiai Kelana Biografi Kiai Muchith Muzadi (LKiS Jogyakarta, 2000), salah satu penulis dalam Ulil Abshar Abdalla, Islam Liberal dan Fundamental, Sebuah pertarungan Wacana (elQAS Jogyakarta, 2003), dan salah satu penulis dalam KH Muhyiddin Abdsshomad dkk, Gus Yus dari Pesantren ke Senayan (Kerjasama PP Darus Sholah dan LTN NU Cabang Jember, 2005), Kaleidoskop Pemilu 2004 Kabupaten Jember, Jejak Langkah Demokrasi Kota Suwar Suwir (KPU Kabupaten Jember, 2006), Kaleidoskop Pemilu 2005, Dinamika Pilihan Langsung Kota Tembakau (KPU Kabupaten Jember, 2006), Fiqih Pemilu, Menyemai Nilai-nilai Agama dan Demokrasi di Indonesia (Pesantren Mahasiswa Nuris 2 kerjasama dengan JPPR Jember, 2008). Pernah menjadi editor buku KH A Muchith Muzadi, Apa dan Bagaimana NU? (NU Cabang Jember, 2003), dan penyelia buku KH Muhyiddin Abdusshomad, Penuntun Qalbu, Kiat Meraih Kecerdasan Spiritual (PP Nuris Jember dan Khalista Surabaya, 2005), kru editor KH A Muchith Muzadi dkk, Keluarga Sakinah Sebagai Media Penunjang Kesuksesan Pendidikan (LDNU Cabang Jember bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Jember, 2007). Dari Bom Bali Sampai Kuningan, Mencari akar Terorisme Di Tanah Air (LPM Filantrophy Studies bekerjasama dengan Pena Salsabila,2009), Dan Pergumulan NU, Islam & Keindonesiaan Menuju Islam Nasionalis (LPM Filantrophy Studies bekerjasama dengan Pena Salsabila, 2010).\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nasionalisme dan Welfare State

15 Oktober 2014   15:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:56 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siswono Yudo Husodo, menulis: "Indonesia: "Welfare State" Yang Belum Sejahtera (Kompas, 25/4/2006). Tulisan Pak Siswono ini, adalah kongklusi dari kondisi Indonesia sebagai negara kesejahteraan yang masih belum sejahtera. Ini ditandai dengan masih adanya komersialisasi pendidilkan dan kesehatan. Sumber pendanaan pembangunan yang masih bergantung pada hutang luar negeri. Semangat kemandirian belum diimbangi dengan kapasitas anak bangsa ini untuk memenuhi kebutuhan dasar sendiri. Untuk memenuhi sembilan bahan pokok juga bergantung pada impor dari luar negeri.
Di usia ke-69 tahun ini, Indonesia sejahtera masih berupa cita belum realita. Kendati, Ikhtiar seluruh anak bangsa untuk mewujudkan kesejahteraan, masih terus dilakukan. Kebijakan nasionalisasi perusahan asing di era rezim Orde Lama, kebijakan konglomrasi di era rezim Orde Baru, serta liberalisasi ekonomi di era rezim Reformasi, tak cukup mujarab untuk memenuhi standart hidup minum setiap warga negara. Sementara, negara masih tetap terbelit dengan persoalan klise: kemiskinan, pengangguran, ketimpangan sosial, ketimpangan antar wilayah, kerusakan lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Persoalan klise di atas sesungguhnya merupakan sebab dari akibat negara yang belum bisa memenuhi standart hidum minimum dari setiap warganya. Dalam konteks ini, negara yang paling bertanggungjawab beserta struktur dan aparatur pemerintah, baik di pusat, propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, maupun di desa/kelurahan. Pembukaan UUD 1945 mengamanahkan: "Pemerintah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa".
Namun demikian, nampaknya, kita tidak bisa hanya bertumpuh pada pemerintah saja, tapi harus juga melibatkan masyarakat secara timbal-balik dalam mewujudkan negara kesejahteraan. Ini mengingat, kapasitas pemerintah kian berkurang, sementara kompleksitas persoalan bangsa kian bertambah. Bahkan, pemerintah sekarang menghadapi problem internal sendiri yang kronis dan akut. Budaya korupsi yang merajarela, serta mentalitas aparatur yang minta dilayani.
Oleh karena itu, ikhtiar semua pihak dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, baik pemerintah maupun masyarakat, tak kunjung menampak hasil. Malahan, ikhtiar itu terkadang menemui persimpangan jalan antara problem dan solusi. Problem dan solusi kian kabur. Sehingga, persoalan klise di atas tak pernah selesai dalam sepanjang sejarah. Solusi hanya bisa menurunkan kadar, tapi belum bisa sampai menghilangkan persoalan itu sendiri.
Data BPS menyebutkan, jumlah rakyat miskin di Indonesia 28,28 juta orang atau 11,25 persen. Jumlah pengangguran di Indonesia 7,15 juta orang atau 5,7 persen. Tingkat ketimpangan sosial di Indonesia sangat tinggi. Gini ratio mencapai 0,41. Ketimpangan antar wilayah Indonesia Barat dan Indonesia Timur. Aktivitas ekonomi 80 persen di wilayah Indonesia barat, sementara sisanya di wilayah Timur. Kondisi lingkungan hidup Indonesia rawan bencana alam. Letusan gunung berapi, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami, pencemaran air, udara dan tanah, adalah jamak di seluruh belahan wilayah Indonesia. Dan seterusnya.
Alhasil, program pengentasan kemiskinan dan pembukaan lapangan pekerjaan baru yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat tak cukup siginifikan untuk mengurangi jumlah rakyat miskin dan tingkat pengangguran terbuka. Sumbangsihnya di bawah 0,5 persen. Tahun 2014 ini misalnya, kemiskinan dan pengangguran hanya bisa ditekan 0,34 juta dan 0,21 juta saja dibandingkan dari tahun 2013. Itu artinya, kubangan kemiskinan dan pengangguran di Indonesia sulit ditutupi. Apalagi, potensi kubangan baru terbuka lebar, melalui bonus demografis yang tumbuh rata-rata 1,34 persen. Disamping, pertumbuhan angkatan kerja baru yang mencapai 1,72 juta tahun 2014.
Namun demikian, betapapun masa depan negara kesejahteraan Indonesia belum menemukkan "titik terang" dari serangkaian ikhtiar pemerintah dan masyarakat yang ada. Semua anak bangsa pasti terpanggil secara moral untuk menyumbangkan tenaga dan fikiran menjadi bagian dari solusi masalah, bukan menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Panggilan moral ini didorong dari rasa tanggungjawab terhadap masa depan Indonesia. Sebab, masa depan Indonesia adalah masa depan kita juga.
Setahun lagi, Indonesia akan memasuki ASEAN Economic Community (Masyarakat Ekonomi Asean). Dimana General Agreement on Tariff and Trade (GATT) WTO akan diberlakukan. Arus barang dan jasa dari luar negeri akan bebas masuk ke Indonesia, begitu pula sebaliknya. Mau tidak mau, siap atau tidak siap, Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya akan memasuki perdagangan bebas. Nasionalisme seluruh anak bangsa akan mendapat ujian terbesar dalam pergaulan masyarakat ekonomi Asean tersebut.
Nasionalisme bukan sekadar faham ideologi politik tapi juga faham ideologi ekonomi. Faham yang berisi kecintaan dan kebanggaan terhadap Indonesia sebagai kesatuan politik dan kesatuan ekonomi. Nasionalisme juga bukan sekadar identitas politik tapi juga identitas ekonomi. Identitas yang berisi ciri khas dan produk unggulan yang punya daya saing yang tinggi. Indonesia adalah negeri yang kaya raya: sumberdaya manusia, alam, dan budaya. Kekayaan ini modal dasar untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, serta bersaing dengan masyarakat ekonomi Asean yang lain.
Nasionalisme ekonomi yang paling relevan dan kontekstual untuk saat ini. Seluruh anak bangsa harus cinta produk dalam negeri dan bangga menggunakan produk dalam negeri tersebut. Rasa cinta dan bangga ini bagian dari doktrin agama sehari-hari. Seperti: hubbul wathan minal iman (cinta tanah air itu bagian dari iman), kulli hizbin bima ladaihim farihun (setiap masyarakat bangga terhadap apa yang ada pada diri mereka sendiri). Doktrin agama ini ikut mengkonstruksi nasionalisme ekonomi. Dimana cinta pada produksi dalam negeri dan bangga mengguna produksi dalam negeri itu bagian dari iman.
Produksi barang dan jasa di berbagai outlet di toko kecil maupun mall bukan sekadar "pilihan selera", akan tetapi juga menyangkut "pilihan keyakinan". Produksi dalam negeri yang berdaulat, akan melahirkan kesejahteraan rakyat, yang menjadi tanggungjawab seluruh anak bangsa. Tanggungjawab yang lahir dari keyakinan bahwa cinta tanah air itu bagian dari iman. Dan, bangga terhadap apa yang dimiliki juga bagian dari nilai luhur.
*Moch Eksan, Ketua DPD Partai NasDem Jember, dan Anggota DPRD Propinsi Jawa Timur.
**Bahan Seminar Kebangsaan dengan tema: "Semangat Nasionalisme dan Pembangunan Kesejahteraan Masyarakat", yang diselenggarakan oleh Gemas Wilayah Jawa Timur, Rabu, 15 Oktober 2014, di Aula Rektorat Unsuri Surabaya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun