Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asean ke-9 Tahun 2003 di Bali, memutuskan untuk membentuk Asean Economic Community (Masyarakat Ekonomi Asean). KTT itu menyepakati free trade (perdagangan bebas) di kawasan Asean. Ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan, dan meningkatkan pembangunan ekonomi kawasan Asean yang menyatu dan terpadu.
Negara-negara Asean akan memasuki MEA pada 31 Desember 2015. Intinya adalah, perdagangan bebas barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga kerja terampil. Lima hal tersebut, bebas keluar masuk, tanpa bea masuk dan tarif di antara 10 negara-negara anggota Asean.
Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Brunai Darussalam, Kamboja, Laos, Burma, dan Vietnam, bersepakat untuk melaksanakan pasar bebas di sektor pertanian, otomotif, elektronik, tekstil, karet, kayu, perikanan, hotel, pariwisata, kesehatan dan seterusnya. Produk barang dan jasa di sektor-sektor tersebut bebas tanpa subsidi dan kebijakan proteksi lain terhadap produk dalam negeri.
Pasar bebas tersebut merupakan "peluang" sekaligus "ancaman" bagi perekonomian Indonesia. Tinggal, bagaimana bangsa ini, mulai dari pemerintah, pelaku usaha, sampai dengan masyarakat sendiri, menyikapi pasar bebas Asean, mau tidak mau, atau siap maupun tidak siap. Pasar bebas merupakan keniscayaan sekaligus trend dari tatanan ekonomi dunia menuju single market (pasar tunggal).
Indonesia merupakan negara Asean terbesar dibandingkan dengan negara-negara Asean lainnya. Secara geografis, 53 persen wilayah Asean adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan, secara demografis, 43 persen penduduk Asean yang mencapai 600 juta lebih, adalah penduduk Indonesia yang mencapai 252 juta lebih.
Luas wilayah dan jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar, bagaikan dua sisi mata uang. Satu sisi merupakan potensi sumberdaya alam dan manusia, sekaligus beban yang harus ditanggung oleh pemerintah. Semua bergantung pada kesiapan dan kemampuan seluruh elemen bangsa dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya yang ada untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
World Economic Forum 2014 menyebutkan, posisi Indonesia berapa pada peringkat ke-34, bila dilihat dari kemampuan daya saing ekonomi antar negara-negara di dunia. Sedangkan, posisi negara Asean lain. Terutama, Singapura, Malaysia, dan Thailand berada di atas peringkat Indonesia. Singapura ke-2, Malaysia ke-20, dan Thailand ke-31. Posisi negara-negara Asean lainnya, berada di bawah peringkat Indonesia.
Sedangkan, pendapatan per kapita antara negara-negara Asean, posisi Indonesia berada pada peringkat ke-5. Data IMF menyebutkan: Singapura (USD 57,238), Brunei Darussalam (USD 47,200), Malaysia (USD 14,603), Thailand (USD 8,643), Indonesia (USD 4,380), Filipina (USD 3,725), Vietnam (USD 3,123), Laos (USD 2,435), Kamboja (USD 2,086), dan Burma (USD 1,246).
Namun demikian, pendapatan nasional antara negara-negara Asean, posisi Indonesia justru berada pada posisi ke-1, seperti data IMF berikut ini: Indonesia (USD 539,377 M), Thailand (USD 263,979 M), Malaysia (USD 192,955 M), Singapura (USD 182,231 M), Filipina (USD 161,196 M), Vietnam (USD 93,164 M), Burma (USD 34,262 M), Kamboja (USD 10,871 M), Brunei Darussalam (USD 10,405 M), dan Laos (USD 5,598 M).
Data-data di atas, menunjukkan bahwa Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan Asean, tak berbanding lurus dengan kemampuan daya saing dan pendapatan per kapita penduduknya. Sebuah anomali, yang mengharuskan pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat, untuk menata ulang sumberdaya alam dan manusia yang ada, agar menjadi "potensi" bukan justru menjadi "beban", dalam memasuki MEA yang akan datang.
Jadi, MEA bagi Indonesia bisa menjadi "kabar gembira" dan bisa pula menjadi "kabar duka" bagi kedaulatan ekonomi nasional. Sesungguhnya, modal dasar dari sebuah negara manapun di pasar bebas, adalah kemampuan daya saing, produk unggulan, pasar, dan pelaku usaha. Indonesia memiliki modal dasar tersebut.
Seluruh elemen anak bangsa mutlak harus menggunakan modal dasar di atas untuk mengembangkan kemampuan daya saing, melahirkan produk unggulan, membuat pasar, dan mencetak pelaku usaha nasional yang handal. Tak terkecuali juga pemuda, yang mempunyai sejarah kepeloporan di republik ini.
Dalam konteks pasar bebas ini, posisi serta peran pemuda Indonesia dalam MEA sangat penting dan strategis. Antara lain: pemuda sebagai sumberdaya, komoditi tenaga kerja, pasar dan pelaku usaha. Di bawah ini, akan diuraikan lebih lanjut.
Pertama, pemuda sebagai sumberdaya manusia merupakan potensi ekonomi demografis terbesar di Asean. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah pemuda sekarang 62,6 juta. Jumlah ini paralel dengan 24,8 persen dari penduduk Indonesia.
Kedua, pemuda sebagai komoditi tenaga kerja merupakan sumberdaya tenaga kerja terbesar di Asean. Data International Labour Organitation (ILO), Asean memiliki 300 juta kesempatan kerja terbuka. Dan, 38 persen, usia produktif penduduk Asean, adalah angkatan kerja Indonesia. Ini peluang bagi Indonesia untuk menguasai kesempatan kerja yang ada, kendati juga harus diiringi dengan peningkatan kompetensi dan keterampilannya.
Ketiga, pemuda sebagai pasar merupakan sigmentasi pasar terbesar Asean. Food (makanan), mode (pakaian) dan style of life (gaya hidup) dari pemuda Indonesia, adalah pangsa pasar sigmented terbesar tersendiri. Cinta pada produk dalam negeri merupakan proteksi kultural dari membanjirnya produk barang dan jasa dari luar negeri. Proteksi kultural ini harus dibarengi dengan peningkatan kualitas barang dan jasa demi kedaulatan ekonomi nasional.
Keempat, pemuda sebagai pelaku usaha merupakan pengusaha yang jumlahnya masih sangat kecil. Mantan Menteri Koperasi dan UKM Syarif Hasan menyebutkan, jumlah pengusaha Indonesia hanya 1,56 persen dari jumlah penduduk. Jumlah ini jauh tertinggal dengan Amerika yang 12 persen, Jepang yang 10 persen, Singapura yang 7 persen, dan seterusnya. Sementara, pengusaha muda, berdasar data keanggotaan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) hanya 25 ribu lebih saja.
Alhasil, jumlah pengusaha muda yang sangat kecil tersebut menyulitkan pemuda menjadi inti kekuatan ekonomi nasional. Usaha dan ikhtiar harus terus-menerus dilakukan, agar hambatan yang menghalangi munculnya pengusaha baru bisa diatasi. Salah satunya, sistem pendidikan yang tak mendukung, ingin hasil yang instan, ambisi yang besar, inovasi yang rendah.
Hambatan tersebut bisa dirubah menjadi pendorong, bila seluruh elemen anak bangsa memberi kesempatan bagi pemuda untuk belajar dan bekerja membangun usaha sendiri.
Pada saatnya, rahim Ibu Pertiwi akan melahirkan banyak penguasa muda handal sebagai sokoguru ekonomi nasional dalam MEA nanti. Amien.
*Materi Simposium Ekonomi BPL PBHMI, "Generasi Bangsa Untuk Kemandirian Ekonomi Jawa Timur", Sabtu-Minggu, 17-18 Januari 2015, di Hotel Sahid Surabaya.
**Moch Eksan, Presidium Majlis Daerah KAHMI Jember, dan Anggota DPRD Propinsi Jawa Timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H