Dalam berbagai kesempatan berjumpa dengan KPU, baik pusat, propinsi maupun kabupaten/kota, saya selalu bertanya soal sistem pemilihan kepala daerah. Para komisioner KPU itu selalu optimis, bahwa pasca Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pilkada tetap pilihan langsung.
Para komisioner KPU sambil menyelipkan cerita soal kesepakatan SBY dengan Abu Rizal Bakrie dan/dengan pimpinan partai lain dari Koalisi Merah Putih, untuk meloloskan Perpu SBY tersebut. Kesepakatan tertulis inilah yang mendorong SBY mengeluarkan Perpu sebagai pengganti UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota untuk nantinya diloloskan di Senayan.
Rupanya, kesepakatan itu tinggal kesepakatan. Munas IX Partai Golkar di Bali, memutuskan untuk menolak Perpu SBY, seraya memerintahkan ke Fraksi Partai Golkar dan para anggotanya untuk menolaknya. Dengan keputusan ini, banyak pihak memprediksikan bahwa KMP nanti akan menolak Perpu yang akan dibahas awal Januari 2015 mendatang.
Publik sudah selayaknya "harap-harap cemas" sekarang. Perjuangan untuk mempertahankan rezim pilkada langsung tidak semudah membalik telapak tangan. Kekuatan politik yang menginginkan Pilkada lewat DPRD tetap "utuh". Muktamar dan/atau Munas partai-partai parlemen, ternyata belum mampu mengubah konfigurasi politik nasional. Kecuali menyisakan konflik internal yang menambah "kegaduhan politik". Banyak elite partai yang terseret dalam tarik tambang kepentingan politik pemerintah dan oposisi.
Rezim Pilkada langsung berada di ujung tanduk. 2 koalisi besar Senayan akan terus bertarung. Mana kekuatan yang paling dominan dalam menentukan sistem pilkada yang akan datang. Koalisi Indonesia Hebat vs Koalisi Merah Putih, untuk kesekian kalinya akan duel. KIH memang bertambah, dan KMP memang berkurang. Ini mengingat pergeseran kepentingan Partai Demokrat yang berada di garda terdepan meloloskan Perpu Pilkada langsung, serta peralihan sebagian kekuatan politik PPP ke KIH.
Namun demikian, di atas kertas, kekuatan politik antara pendukung pilkada langsung dengan pilkada DPRD, sangat imbang, dan selisihnya sangat tipis. Bisa-bisa hanya terpaut 18 suara. Tentu dengan asumsi, semua anggota dewan yang berjumlah 560 orang, semua hadir. Dan, semua anggota taat dan patuh pada instruksi partainya masing-masing. Akan tetapi, bila ada anggota yang tak hadir dan/atau kursi masih kosong. Pasti semakin sulit kita tebak, kemana arah sistem pilkada pasca Perpu Pilkada dibahas di Senayan.
Nasib Perpu Pilkada benar-benar "mengantung" di langit-langit gedung DPR RI. Siapa pun tidak bisa memprediksikan secara pasti. Sebab, dalam kondisi seperti itu, segala kemungkinan bisa terjadi. Yang pasti, setelah DPR RI membahas dan memutuskan Perpu Pilkada tersebut, baru arah pilkada bisa jelas dan pasti. Sebelum itu, langit bumi Indonesia diliputi "kabut tebal".
Oleh karena itu, para kandidat yang hendak maju, tim sukses, para relawan, simpatisan, pendukung, dan partai politik pengusung maupun pendukung, dihadapkan pada ambigusitas politik tingkat dewa. Pilkada bisa langsung dan bisa pula lewat DPRD. Barangtentu, strateginya tidaklah sama. Bahkan, berbeda 180 derajad.
PAE (popularitas, akseptabilitas dan elektabilitas) maha penting dalam memenangkan Pilkada langsung. Namun tidak demikian dengan Pilkada lewat DPRD. Cukup, 51 anggota DPRD Propinsi yang mendukung dan/atau 26 anggota DPRD Kabupaten/kota yang mendukung, sudah pasti menang pada Pilkada lewat DPRD.
Di tengah-tengah ketidakpastian seperti ini, yang bingung bukan hanya rakyat. Para kandidatlah terutama, yang paling bingung. Komunikasi dan sosialisasi politik dengan partai maupun rakyat, seperti laksana membangun "istana pasir". Yang sewaktu-waktu, istana itu bisa terhempas oleh gelombang samudera.
Wait and see, adalah sikap yang paling relevan dan kontekstual dalam menghadapi tarik menarik 2 sistem pilkada. Sembari, melakukan komunikasi dan sosialisasi dengan partai dan rakyat ala kadar. Baru, setelah sistem pilkada jelas dan pasti, langsung tancap gas. Sekali layar terkembang, pantang mundur ke belakang. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.
*Moch Eksan, Ketua DPD Partai NasDem Jember dan Anggota DPRD Propinsi Jawa Timur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H