Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Sosialita” Menyebabkan Retaknya Rumah Tangga Kawanku

14 Juni 2012   04:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:00 3362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mendengar kata sosialita, saya penasaran. Dalam benak saya, kata itu merujuk pada gaya hidup bersosial secara aktif, temannya banyak dan suka membantu kesulitan orang lain.

Kata itu setelah saya cari disandingkan dengan kata elite, sedangkan kata lawannya adalah proletar yang bermakna rakyat biasa, rakyat jelata, kelas biasa, kelas bawah. Sehingga dapat dikatakan bahwa makna keduanya sangat kontras.

Sosialita juga disinyalir telah mengalami pergeseran makna. Menurut kamus slang, dulu sosialita bermakna positif yaitu berarti seorang kaya yang dermawan dan banyak menghabiskan waktunya untuk menyisihkan kekayaannya mengurus masalah-masalah yang dapat membantu orang lain, untuk itu berarti "aktif secara sosial". Dengan demikian, makna positif dalam konteks ini dapat kita temukan.

Dalam kamus yang sama, sosialita sekarang berbeda dengan makna tersebut. Sosialita lebih dimaknai sebagai seorang yang kaya yang suka berfoya-foya. Selain itu seorang “sosialita” lebih ber”muka” banyak yang berhubungan dengan orang-orang yang kurang beruntung, dapat juga dengan orang-orang sekelasnya untuk menjaga citra. Pencitraan biasanya melalui kehadiran dan peliputan media. Mereka pun tidak memiliki pekerjaan dan biasanya hanya biasa-biasa saja (ecek-ecek) namun duitnya mengalir terus.

Kelompok-kelompok social ini juga memiliki kelompok atau komunitas yang tidak jauh berbeda gaya hidupnya, jor-joran, boros, dan tidak terkonsep. Komunitas lebih penting daripada keluarga dan anak-anak. Sehingga tidak jarang kaum “sosialita” lebih mencintai dan mencurahkan waktunya untuk kelompoknya dari pada memerhatikan pendidikan dan masa depan keluarganya. Akibatnya mungkin, sering terjadinya perceraian karena ketidakmampuan pasangan hidupnya mengikuti sifat dan kebiasaannya.

Kondisi itulah yang terjadi terhadap kawan dekat saya, sebut saja namanya Priyo (bukan nama sebenarnya).

Dalam sebuah obrolan setelah kami melaksanakan sholat, kawan saya menceritakan kondisi keluarganya. Saat ini Priyo telah berpisah dengan istrinya, setelah beberapa tahun dan beberapa kali mencoba untuk mempertahankan keluarganya. Priyo sebenarnya memang tidak ingin berpisah dengan istrinya, karena memang banyak pertimbangan yang terus membuatnya berusaha mempertahankan keutuhan keluarganya.

Berbagai jalan sudah ditempuh, tetapi rupanya perbedaan gaya hidup dan sulitnya istrinya “diarahkan” yang membuat keputusan berpisah harus diambil. Bukan karena ia tidak sayang dengan istrinya, namun demi menyelamatkan pendidikan putra-putranya maka jalan itu harus ditempuh, meskipun dengan berat hati.

“Istriku itu sosialita sekali” ungkap Priyo mengawali menceritakan kondisi keluarganya. Banyak hal-hal prinsip yang sulit untuk dikolaborasikan. Priyo sebagai orang yang berpikir visioner terhadap pendidikan, keluarga dan usahanya sungguh berbeda dengan istrinya yang suka berfoya-foya dengan belanja barang-barang mewah. “Pakaian istri saya mahal-mahal” lanjutnya. Dia tidak selera dengan pakaian-pakaian standard an biasa-biasa saja.

Istrinya juga memiliki komunitas sendiri dan semuanya adalah wanita-wanita kaya dan cantik-cantik. Wanita seperti mantan istri Priyo, seperti keterangan definisi di atas sering mementingkan pertemuannya dan pergaulannya dengan teman-temannya yang bergabung dengan para pebisnis instan, misalnya wanita-wanita cantik bermobil yang suka menjajakan dagangannya di suatu tempat.

Hampir semua pedagang kaki lima di kawasan dimana istrinya berbisnis, kenal semua. Bahkan saking luwesnya,istrinya sering mendapatkan barang-barang yang mungkin berharga jauh di bawah pasaran. Bahkan tidak jarang dia mendapatkan barang-barang secara Cuma-Cuma.

Pergi dari rumah hingga sore bahkanlarut malam untuk bertemu teman sekomunitasnya adalah hal biasa. Ketika Priyo pulang kerja, sering dia hanya bersama dengan anak-anaknya yang bermain dan belajar sendirian. Sedangkan mantan istrinya sibuk dengan kawan-kawannya, bertemu di tempat-tempat perbelanjaan atau restaurant terkenal.

Priyo berusaha untuk memahami kejadian-kejadian itu awalnya. Dia terus berusaha memahami perbedaan kultur dan cara berpikir istrinya, karena memang antara Priyo dan mantan istrinya berasal dari daerah berbeda. Sehingga wajar saja kalau perbedaan-perbedaan itu ada, toh sebetunya bagaimana yang bersangkutan saja memenej masalah yang ada pikirnya. Makanya dia bisa mempertahankan keluarganya hingga belasan tahun.

Satu hal yang menarik dari kasus yang dialami oleh Priyo adalah bahwa dulu ketika masih menjadi istrinya, istrinya itu sering sakit-sakit berat. Dia sering tiba-tiba drop dengan alas an yang tidak jelas, karena setelah dirawat di rumah sakit hanya dideteksi penyakit biasa, mah misalnya. Namun saat ini, istrinya kelihatan lebih segar dan sehat seperti tidak terjadi seperti ketika dulu masih sebagai istrinya.

Kesimpulan Priyo bahwa mantan istrinya itu memang depresi berat menghadapi tekanan dua prinsip yang berbeda. Di sisi lain dia memiliki kewajiban sebagai istri, namun di sisi lain dia juga memiliki komunitas dan gaya hidup sendiri yang tidak dapat ia tahan-tahan, sehingga drop dan stressed menjadi ekses yang tidak tertahankan.

Tentu berpisah dengan istri atau suami bukan hal yang mudah. Anak-anak merasakan ada hal yang hilang meskipun mereka tidak kehilangan bapak atau ibunya. Bapak dan ibunya masih bersama mereka walau dengan ketidakbersamaan. Tugas terberat bagi Priyo saat ini adalah bagaimana harus menjelaskan kejadian ini kepada anak-anak tercintanya. Namun juga Priyo merasa lebih bisa menyelamatkan pendidikan dan masa depan anak-anaknya karena selama ini memang tidak mendapatkan sentuhan hati dari mantan istrinya.

Anak-anaknya hanya mendapatkan barang-barang mewah dari ibunya, bukan sentuhan manis, sapaan yang menghangatkan dan pujian kebanggaan dari seorang ibu. Cinta dan kasih sayang yang dirindukan dari ibunya hanya dihargai dengan baju-maju yang bagus dan berharga tinggi.

“Karena bila saya meneruskan, saya tidak bisa mengikuti gaya hidupnya dan pola pikirnya. Saya tidak bisa berlari dan melangkah seperti ini seterusnya. Kasihan anak-anak saya. Sedangkan saya menginginkan istriku menyayangi keluarga dan anak-anak, namun pilihannya lebih dari itu, untuk kepuasan diri sendiri, foya-foya dan pergaulan.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun