Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Merindukan Polisi yang Memanusiakan Manusia Indonesia

8 November 2011   07:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:55 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya sering menggelitik menanyakan apa cita-cita kalian kelak ketika sudah besar kepada anak-anak yang saya ajar. Anak-anak itu biasanya akan menjawab berdasarkan pengalaman yang mereka lihat sehari-hari. Bisa karena pekerjaan orang tuanya, saudaranya, kakak-kakaknya, kakek dan neneknya atau mungkin tetangganya. Bagi anak yang rajin membaca atau menonton film  tentunya jawabannya juga tidak jauh-jauh dari yang mereka baca atau tonton.

Ada yang mau jadi Superman, Batman, dan lain sebagainya. Saya pun pernah mengkrosscek apa pekerjaan orang tua kalian, setelah menanyakan cita-citanya. Ada catatan yang menjawab sebagai dokter, pilot, guru, ibu rumah tangga, polisi, tentara dan sebagainya. Mereka yang menjawab ingin bercita-cita sebagai polisi, biasanya bapaknya atau pamannya juga sebagai polisi. Dan cita-cita sebagai polisi khususnya saat ini tidak sebanyak yang bercita-cita sebagai guru.

Kesimpulan sederhana saya, profesi polisi saat ini bukan menjadi profesi favorit, entah karena apa. Tetapi banyak dari kawan saya yang secara tegas melarang anaknya untuk menjadi polisi. Kenapa?

Berbicara tentang Polisi, memang kita semua memiliki catatan yang berbeda-beda. Polisi kita adalah salah satu punggawa negara yang bertugas menjaga keamanan warga, siapapun itu. Entah itu perampok, maling, penjahat, apa lagi warga biasa seperti kita. Semuanya memerlukan perlindungan yang sama.

Kita mungkin juga pernah memiliki pengalaman manis hingga pengalaman yang pahit dengan polisi. Entah terkait dengan kebiasaannya menilang sembarangan, meminta "sarapan", membantu memecahkan masalah hukum atau permasalahan dalam masyarakat. Juga dalam layanan dan pengaduan kita kepada jajaran kepolisian, kita sering pulang dengan rasa puas dan mungkin pulang dengan sumpah serapah.

Polisi ada memang diperlukan oleh masyarakat. Kita semua memerlukan polisi, apapun satuannya. Kita juga mengapresiasi para polisi yang benar-benar bekerja untuk masyarakat. Polisi-polisi yang demikian ikhlas menegakkan aturan akan menjadi polisi kebanggan negeri ini.

Tulisan ini hanyalah refleksi penulis tentang polisi, dan tentunya dilihat dari perspektif penulis sebagai warga masyarakat biasa yang memerlukan layanan yang profesional dan sebaik-baiknya.

1. Kita memperhatikan bahwa polisi dari pimpinan siapapun, rentetan Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang tidak sedikit, nampaknya belum mengalami perkembangan yang signifikan. Tingkat profesionalitas mungkin sudah bagus, tetapi dari sisi implementasi profesionalisme kepada masyarakat belum dapat dibanggakan. Sinyalemen ini tentu tidak salah, karena sebagai warga negara kita pun bisa mengkritisi semua kebijakan yang diterapkan.

2. Ketidakefektifan dalam melayani masyarakat dapat dilihat dari beberapa hal, misalnya: ketika menilang pelanggaran di jalan raya polisi tidak berani tegas kepada pelanggar. Bila ada nego "mbayar", polisi akan cenderung memilih alternatif ini. Apalagi, jumlah nominal "uang nego" banyak dan melebihi besaran jumlah denda pelanggaran.

3. Berikut beberapa pengalaman kecil berkait dengan aspek layanan kepolisian:


  • Penulis ketika melebihi rambu jalan ke depan, 30 centimenteran garis, penulis juga langsung di semprit dipinggirkan dan diajak ke pos. Di pos terjadi transaksi itu, awalnya penulis berpikir positif untuk ditilang saja, namun penulis lihat keluar banyak ternyata pengendara lain yang melanggar ketika penulis berada di pos, juga banyak. Ketika itu penulis menawar angka Rp. 30.000,00. Waktu itu polisi mengatakan, 30 ribu dapat apa. Dia menyodorkan aturan yang sudah dicopy dengan rincian pelanggaran dan denda. Dan betul, melanggar rambu jalan, didenda Rp. 50.000,00. Akhirnya saya membayar Rp. 50.000,00 juga.
  • Pengalaman yang lain, dulu ketika mencari surat keterangan kelakuan baik, saya dimintai biaya "foto copy". Saya katakan waktu itu, "Khan formulirnya sudah ada foto copy, kenapa harus foto copy?". Ucapan kamuflase itu sebetulnya saya sudah tahu, namun saya hanya ingin mendapatkan layanan yang baik dari polisi. Akhirnya saya pun harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mengurus SKKB.
  • Kejadian ini belum lama. Ada tabrakan kecil yang melibatkan anak SD dan penabrak di dekat sekolah istri. Memang kejadian ini hanya tabrakan kecil, sehingga si orang tua siswa sudah memaafkan dan penabrakpun bersedia menanggung semua biasa bila diperlukan. Artinya sudah damai. Ketika proses perdamaian telah selesai, muncullah polisi muda, yang dengan sok membawa mereka ke kantor polisi. Entahlah apa yang dilakukan selanjutnya. Namun tindakan polisi itu malah dicemooh oleh orang yang menyaksikan kejadian itu.


4. Tentunya dari perspektif saya, yang hanya warga masyarakat, kejadian-kejadian tersebut tidak perlu terjadi, jika polisi benar-benar bekerja secara profesional melayani masyarakat Indonesia. Tentunya itu hanya dari pengalaman pribadi dan cerita-cerita orang-orang terdekat saya saja. Saya masih meyakini masih ada jutaan cerita tentang tingkah laku polisi kita yang kita cintai itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun