Kebijakan-kebijakan di Kementrian Pendidikan Nasional sering kali mengundang perdebatan. Perdebatan menunjukkan variasinya pendapat dan pertimbangan seseorang dalam memandang sesuatu. Apabila perdebatan itu berkepanjangan berarti kebijakan yang telah diambil, lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu dan mengabaikan pihak yang lain. Kementrian Pendidikan menjadi kementrian yang sering menelorkan debat panjang hingga bertahun-tahun. Namun demikian sering perdebatan itu hanyalah sebagai debat yang tak pernah mendapatkan respon positif dari pemerintah.
Tengok saja kebijakan Ujian Nasional (UN) yang sudah bertahun-tahun menimbulkan perdebatan. Toh hingga detik ini UN masih terus berlangsung. Pihak-pihak yang kontra tidak memiliki kekuatan untuk turut mewarnai, dan cenderung hanya sebagai penerima keputusan.
Banyak masukan dari masyarakat yang mengkritisi kebijakan UN karena tidak lebih hanya sebagai proyek yang menghambur-hamburkan keuangan negara. Seperti disinyalir beberapa media nasional bahwa anggaran UN pada tahun 2012 sebesar 580 milyar. Jumlah itu jauh lebih tinggi, 17.2 M dari tahun sebelumnya. Sehingga menurut sebagian orang jumlah itu tidak masuk akal.
Walaupun Mendiknas mengajak untuk mengakhiri debat tentang UN, “Perdebatan mengenai UN su dah selesai. Sekarang masalah nya adalah bagaimana melaksanakan UN dengan baik,” seperti dilansir oleh Rakyat Merdeka, tetap saja kebijakan itu terasa tidak adil. Ketika UN SD dan SMP dibebaskan dari biaya, ternyata sekolah SMK masih ada yang memungut biaya yang tentunya sangat memberatkan bagi sebagian orang tua. Hal ini misalnya terjadi di SMK Abdi Negara Muntilan di Magelang yang memungut biaya hingga 1 juta rupiah, SMK Maarif Kota Mungkit memungut Rp. 600.000 dan SMA Negeri 2 Kota Magelang memungut Rp. 50.000,00. Di MTSN Kota Bekasi, menurut informasi orang tua siswa, misalnya dikenakan Rp. 500.000,00 untuk proses Try Out dan persiapan hingga menghadapi UN. Pertanyaannya lalu, anggaran yang setengah trilyun itu kemana saja, kok sekolah memungut kembali.
Belum juga sering dikeluhkannya pelaksanaan UN yang diwarnai ketidakjujuran itu. Kerahasiaan soal yang mestinya bisa dijaga oleh pemerintah sering bocor sampai kepada para calon peserta ujian sebelum pelaksanaan. Entah kunci-kunci itu betul atau tidak, yang pasti itu telah menimbulkankecemasan masa oleh siswa-siswa. Tidak sampai di situ, pihak sekolah yang diwakili oleh guru dan kepala sekolah sering pula dibuat was-was sehingga mereka juga terjun dan malah menjadi pelaku kecurangan sendiri. Mereka berpikir bahwa bila terjadi kelulusan di bawah 100% mereka malu. Dampak selanjutnya, menurut mereka, bila terjadi kelulusan tidak 100% mengindikasikan sekolah itu tidak berkualitas. Sehingga di sanalah kecurangan demi kecurangan terus terjadi di ranah akademik itu.
Kemungkinan besar Bapak Menteri tidak memikirkan sampai ke sana, sehingga kebijakan UN itu terus dipaksakan untuk dilaksanakan. Belum lagi konsentrasi orang tua yang terus nmengejar agar putra-putri mereka dapat mengerjakan soal. Cara berpikir praktis seperti ini, seakan mengotori nilai-nilai kejujuran dalam dunia pendidikan. Sehingga, tidak jarang orang tua rela merogoh kocek mereka untuk mem-bimbel-kan putra-putrinya yang berjuta-juta hanya agar lulus ujian. Permainan-permainan kotor sering juga terjadi di daerah itu.
Sekali lagi, hingga saat ini pemerintah belum bisa memberikan jaminan, akankah soal-soal UN nanti tidak akan bocor. Sehingga dampak yang ditimbulkannya akan lebih besar lagi. Dalam perspektif rakyat, soal itu yang membuat adalah diknas, namun mengapa informasi kebocoran itu selalu ada. Di mana yang kurang tepat?
Pemaksaan Kemendiknas yang lain adalah Surat Dirjen Dikti Kemendiknas yang bertanggal 27 Januari 2012 tentang publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 sebagai syarat kelulusan yang berlaku mulai Agustus 2012. Banyak kalangan menilai kalau pemberlakuan surat itu terlalu terburu-buru. Dengan tenggat waktu Agustus 2012, terkesan Kementrian tidak memiliki strategy dalam implementasi kebijakan.
Sampai saat inipro dan kontra terus berlangsung. Bagi mahasiswa yang sering menulis, mungkin tidak menjadi masalah. Namun ketika harus diterbitkan di jurnal ilmiah, akan menjadi masalah tersendiri.
Mata kuliah yang menekankan prioritas penulisan ilmiah saat ini juga tidak dengan baik terimplementasikan di beberapa kampus. Sehingga mahasiswa terkesan tidak siap ketika harus menulis yang harus diterbitkan di jurnal ilmiah. Selain itu tidak semua perguruan tinggi memiliki wadah itu, sehingga beberapa perguruan tinggi berteriak-teriak karena menurut mereka biaya pengadaan jurnal juga sangat tinggi.
Masalah penulisan, sebetulnya tidak hanya dihadapi oleh para mahasiswa. Para dosen pun banyak yang memiliki kendala terhadap penulisan karya tulis ilmiah.