Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Celana Ketat Tante Anu....itu

24 Oktober 2011   09:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:34 1618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tren berpakaian nampaknya terus berubah dan berjalan liar. Kenapa kok liar? Disebut liar karena memang tidak dapat dikendalikan oleh siapapun. Tidak ada orang yang bisa melarang seseorang menggunakan pakaian bentuk apapun. Siapapun dia. Guru agama, guru kewarganegaraan, guru budi pekerti, lurah, camat, bupati bahkan presidenpun. Terkait dengan celana, apapun bentuknya tak akan ada yang berani mengharu biru.

Apalagi kalau sudah membawa hak asasi seseorang, katakanlah HAM, kebanggaan penggiat HAM. Orang bila sudah dikatakan melanggar HAM biasanya lebih menunduk dan malu. Dan betul, HAM adalah senjata pamungkas yang sering dijadikan bahan pembelaan seseorang ketika melakukan hal-hal yang kontroversial.

Kita juga sering mendebatkan antara wilayah privat dan wilayah umum. Baca saja agama, yang sering diperdebatkan. Ada yang berpendapat agama itu wilayah privat yang tidak harus diketahui oleh yang lain, ada yang berpendapat kalau agama itu wilayah umum, karena terkait dengan sosialisasi kultur dan pernikahan segala macam yang sifatnya administratif.

Nah, kalau terkait dengan pakaian, mungkin juga akan banyak perdebatan. Perdebatan akan muncul karena tiao orang akan melihat dari perspektif yang berbeda. Belum lagi kalau kembali kepada hak seseorang. Kalau sudah sampai ke hak seseorang siapa lagi yang bisa mengalahkan kecuali atas kesadarannya sendiri.

Misal saja, kita ambil contoh seseorang atau mungkin banyak orang yang menggunakan celana "lontong" alias celana yang sangat ketat. Sebaiknya kita klasifikasikan celana ketat ini; celana ketat yang tebal seperti jin atau tipis, bahkan sangat tipis, seperti lejing atau apalah namanya.

Celana itu, lejing atau lontong, perkiraan saya dulunya adalah pakaian dalam yang digunakan sebagai dobelan ketika mengenakan rok atau pakaian lain. Tentunya, masih menurut perkiraan saya, semoga tidak salah, pemakai jenis pakaian seperti itu masih mengenakan pakaian luar yang "lebih pantas" untuk dikonsumsi publik. Publik pun memiliki hak untuk dihormati, atau katakanlah publik pun juga manusia yang memiliki hak asasi manusia (HAM) sehingga mereka pun harus juga dilindungi.

Kembali ke celana ketat, saat ini lagi ngetren celana ketat dengan berbagai corak dan warna berseliweran di depan kita. Jin atau lejing, tetapi saat ini lejing nampaknya lebih sporadis perkembangannya.  Entah apa maksudnya, mereka menggunakannya laiknya menggunakan pakaian-pakaian biasa yang sering dikonsumsi oleh publik dan memang dipakai di tempat-tempat umum.

Sehingga para pemirsa, kadang dibuat terbelalak dengan pemandangan itu. Tidak saja kaum pria, banyak kaum wanita yang geleng-geleng kepala melihat pemandangan seperti itu. Pemakai celana (sebetulnya bukan hanya celana tetapi juga kaos) itu begitu radikal memperlihatkan bentuk tubuhnya yang "aduhai". Lekuk tubuhnya, pahanya, bagian-bagian tertentu begitu jelas menggambarkan apa adanya.

Kita memang tidak pernah menyelami hati dan pikiran pemakai, apa sebenarnya maksud dari itu semua. Dan untuk siapa sejatinya pemandangan itu dibuat. Untuk kita semuakah, untuk keluarga tercintanyakah, atau untuk dirinya sendiri. Yang pasti kita tak pernah tahu niat dari mereka secara masiv.

Yang kita tahu hanyalah, bentuk tubuhnya apa adanya tanpa ditutup-tutupi. Kakinya nampak seperti kaki, pahanya nampak seperti paha, perutnya pun nampak seperti perut dan sebagainya. Kata orang arif, dia berpakaian namun sejatinya tidak berpakaian. Tetapi bagaimanapun kita tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali sebagai cermin bagi keluarga kita sendiri.

Kita pun juga tak pernah tahu, apakah model pakaian begituan berkorelasi dengan kejahatan atau tidak, terutama pemerkosaan. Nampaknya memang harus ada peneliti agar misteri itu bisa terjawab. Katakanlah, para pemerkosa itu dijadikan objek penelitian agar datanya agak valid dan reliable.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun