Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Menunggu (Tidak) Punahnya Bahasa Indonesia

25 September 2012   06:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:45 916
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang digunakan setiap kegiatan nasional. Selain sebagai bahasa nasional ia adalah bahasa resmi kenegaraan yang digunakan oleh pejabat dalam berbagai even nasional. Pun sebagai bahasa pemersatu bangsa yaitu sebagai sarana komunikasi anak bangsa yang berasal dari berbagai daerah dan suku yang berbeda.

Keberagaman bahasa daerah tersebut seharusnya senantiasa dipelihara untuk memperkaya bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa Indonesia seharusnya terus berkembang maju dengan di warnai oleh kosakata-kosa kata bahasa daerah, sehingga selain sebagai alat untuk melanggengkan bahasa daerah, ia dapat juga dijadikan sarana untuk menunjukkan kepada dunia bahwa bahasa Indonesia terus berkembang.

Kita tidak ingin kondisi bahasa Indonesia menjadi surut seperti kondisi beberapa bahasa daerah yang ada di  Indonesia. Kepunahan atau kematian bahasa itu dapat saja terjadi di setiap bahasa, termasuk bahasa daerah kita atau bahkan bahasa Indonesia. David Crystal dalam bukunya Language Death menggambarkan bahwa “ A language dies when nobody speaks it any more.” Bahwa bahasa itu dikatakan mati/ punah ketika tidak ada orang yang menggunakannya lagi.

Apabila kondisi yang disinyalir oleh Crystal tersebut terjadi pada bahasa daerah yang menyebar di pelosok nusantara ataupun pada bahasa nasional, maka kita tinggal menunggu detik-detik kepunahan bahasa tersebut.

Kepunahan Bahasa Daerah

Negara Indonesia memiliki banyak bahasa daerah yang digunakan untuk berkomunikasi para penduduk di daerah tersebut. Jumlah bahasa daerah, menurutKepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Mahsun, sedikitnya ada 442 bahasa.Jumlah tersebut terungkap dalam Kongres Bahasa ke-9 yang digelar tahun 2008 silam, dan pada tahun 2012, penelitian yang mengambil sampel di 70 lokasi di wilayah Maluku dan Papua telah mencapai 546 bahasa. Sebenarnya bila merujuk hasil penelitian itu sangat menggembirakan.

Datayang lain bahkan menyebutkan jumlah bahasa daerah adalah 742 bahasa. Dari jumlah tersebut hanya ada 13 bahasa yang penuturnya lebih dari satu juta orang, sedang sisanya 729 kurang dari satu juta orang.Berdasarkan data tersebut, bahasa dengan jumlah penutur kurang satu juta akan lebih potensial punah dan jumlah tersebut tersebar di wilayah Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Papua.

Ambil contoh misalnya, penutur bahasa Lom (Sumatera) hanya 50 orang, Di Sulawesi ada Budong-budong yang penuturnya 70 orang, Dampal 90 orang, Bahonsuai 200 orang, Baras 250 orang. Di Kalimantan bahasa Lengilu jumlah penuturnya 10 orang, Punan Merah 137 orang, Kareho Uheng 200 orang. Wilayah Maluku ada bahasa Hukumina dengan jumlah penutur hanya satu orang, Kayeli tiga orang, Nakaela 5 orang, Hoti 10 orang, Hulung 10 orang, Kamarian 10 orang dan bahasa Salas 50 orang. Di Papua bahasa Mapia satu penutur, Tandia dua penutur, Bonerif  4 orang penutur, dan bahasa Saponi 10 orang.

Kejandian yang menimpa pada sebagian besar bahasa daerah tersebut harus dijadikan pelajaran berharga bagi kita semua. Menurut ahli bahasa Multamia kecenderungan punahnya bahasa daerah tersebut disebabkan karena tidak memiliki aksara dan keengganan warga masyarakat untuk menggunakannya dalam aktifitas. Hal lain, juga tidak adanya dokumentasi bahasa sehingga lama kelamaan tidak digunakan dan tidak terdeteksi keberadaannya.

Bila merunut pengalaman kepunahan bahasa daerah tersebut yang selain disebabkan oleh tidak terdokumentasinya bahasa tersebut dengan baik,  juga karena penggunaannya yang terbatas dalam aktifitas lisan saja, tidak meninggalkan jejak tertulis, bukan tidak mungkin apabila pengelolaan bahasa Indonesia tidak segera dilakukan juga akan mengalami hal yang sama dengan bahasa daerah.

Pencataan perkembangan bahasa Indonesia harus terus dilakukan, dengan diimbangi juga pengakomodiran kreatifitas-kreatifitas bahasa akibat dari perkembangan bahasa asing dan pertumbuhan alat komunikasi yang berbasiskan tehnologi. Memang benar, kondisi saat ini, bahasa kita seperti dalam keadaan terpuruk sebagai akibat semakin praktisnya cara menggunakan, terutama dalam komunikasi lewal sosial media dan kirim pesan pendek.

Kreatifitas-kreatifitas penggunaan bahasa Indonesia yang terus berkembang (bahasa gaul, bahasa prokem, bahasa SMS) di sisi lain akan dapat memunahkan bahasa itu sendiri, namun di sisi lain akan memperkaya bahasa Indonesia. Hal itu akan tergantung para ahli bahasa Indonesia dalam mengelola dan membuat korelasi antara bahasa dan perkembangan alat komunikasi, dan bagaimana mensosialisasikannya kepada masyarakat sebagai upaya untuk terus mengembangkan bahasa Indonesia. Sehingga hal itu tidak tumbuh menjadi kekhawatiran, tetapi justru sebagai bahasa pengaya yang akan menjadikan bahasa Indonesia semakin diterima di khalayak internasional.

Miskin Tokoh Bahasa

Beberapa dekade terakhir bahasa Indonesia seperti mengalami mati suri. Tanda-tanda yang dapat ditemukan adalah terus mendomisasinya bahasa asing dan penggunaan bahasa pesan  dengan menggunakan alat komunikasi yang berbasis tehnologi semakin tidak terkontrol. Itu terlihat dari berkembangnya sosial media baik Facebook, Twitter, atau alat seperti telepon genggam yang digunakan untuk mengirim pesan pendek yang lebih cenderung ditulis sesuai selera pengirimnya dan mengabaikan tata bahasa baku.

Selain itu, saat ini bahasa Indonesia kekurangan ahli bahasanya yang diharapkan terus membangun teori-teori dan berkreasi dengan menggunakan perkembangan bahasa asing dan tehnologi sebagai pengaya bahasa Indonesia dan kesusastraan. Pun bahasa daerah nampak seperti kurang terakomodasi dalam perkembangan bahasa Indonesia. Seakan-akan posisi bahasa daerah dalam konteks perkembangan bahasa Indonesia adalah sebagai pengganggu, kesukuan, ras,  padahal keduanya dapat disandingkan, saling mendukung dan saling melengkapi.

Kalau dulu bicara bahasa Indonesia tidak akan lepas dari peran misalnya Raja Ali Haji, JS Badudu, Gorys Keraff, Anton M. Meliono, NH Dhini, Harimurti Kridhalaksana, Ramlan dan beberapa tokoh bahasa dan sastra lainnya, kini tokoh-tokoh seperti mereka sulit ditemukan dan belum tergantikan. Jaman itu, ahli bahasa juga sebagai ahli kesusastraan, sehingga selain terus berkarya mengembangkan bahasa juga menciptakan karya-karya sastra yang monumental.

Namun demikian saat ini tokoh-tokoh ahli bahasa seperti mereka belum muncul ke permukaan sehingga mengesankan sedang terjadi mati suri tersebut. Yang muncul ke permukaan, adalah guru-guru bahasa dan penulis-penulis buku bahasa bukan seorang ahli bahasa yang mampu berkiprah memperkuat dan mencari terobosan-terobosan yang akan mendorong bahasa Indonesia sebagai bahasa dunia.

Berdasarkan data yang dilansir olehwww.krysstal.com, bahasa Indonesia saat ini menduduki posisi ke-10 di antara 30 bahasa dunia yang paling banyak penuturnya. Bahasa Indonesia di daftar itu bersinergi dengan bahasa Melayu yang digunakan oleh negara-negara seperti Indonesia, Malaysia dan Singapura dengan jumlah penutur 175 juta. Posisi pertama adalah bahasa Mandarin dengan 1.151 juta penutur, bahasa Inggris dengan 1.000 juta penutur dan ketiga Spanyol dengan 500 juta penutur. Bahasa Jepang malah berada di bawah bahasa Indonesia.

Kesempatan itu terus ada

Dengan menilik posisi bahasa Indonesia yang masih dalam sepuluh besar, besar kemungkinan jumlah itu terus akan berkembang karena jumlah itu hanya berada  di 3 negara Asean. Belum lagi terus berkembangluasnya budaya yang di wujutkan pembangunan pusat budaya di beberapa negara sahabat. MenurutAndri Hadi, Direktur Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri, Bahasa Indonesia telah diajarkan di 45 negara. Di Australia, misalnya, pada tahun 2008, menduduki posisi ke-4 bahasa terbesar yang digunakan di negara Kanguru itu.

Tidak kalah penting dari itu, pembudayaan tulis menulis dalam bentuk apapun akan turut merawat keberadaan bahasa dan secara tidak langsung akan mendokumentasikan karya-karya dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lebih-lebih upaya penjagaan bahasa agar tidak mengalami kepunahan adalah memperhatikan kaidah-kaidah yang menjadi kesepakatan, sehingga bahasa Indonesia akan terjaga perkembangan kualitas dan kuantitasnya.

Melihat beberapa uraian di atas, kita masih memiliki harapan yang besar kepada bahasa Indonesia. Para pengguna, tokoh nasional, tokoh bahasa, tokoh sastra, guru dan pendidik, dan anggota masyarakat harus sama-sama bekerja keras untuk terus mengembangkan bahasa Indonesia. Selain itu bentuk kreatifitas yang disebabkan oleh perkembangan sarana komunikasi berbasis tehnologi justru harus dijadikan “penggedor pintu” untuk menjadikan bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional. Sehingga tidak melulu kita mengekor kepada bahasa asing, tetapi kita akan menjadi rujukan mereka dalam berbagai bidang kehidupan terutama budaya dan peradaban.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun