Mohon tunggu...
Mobit Putro W.
Mobit Putro W. Mohon Tunggu... Dosen - Bergelut dengan bahasa

Hidup itu bukti sebuah kematian....

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ketika Praktisi Biro Jasa Berkeluh Kesah

15 Mei 2012   09:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:16 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_188465" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi (SRIWIJAYA POST/SUDARWAN)"][/caption] Melangkahi pelataran birokrasi Indonesia betul-betul memerlukan kesabaran yang luar biasa. Tidak saja kesabaran itu konsekuensi dari antrian panjang yang tak putus-putus, namun lebih dari itu merupakan mengunggu "guntingan dalam lipatan", "bebatuan hasil lemparan yang tangannya disembunyikan", "banyaknya udang di balik batu", dan istilah-istilah nyinyir yang lain. Setelah beberapa bulan lalu saya tuliskan pengalaman tentang pengurusan SIM di daerah tempat saya tinggal, yang berbelit dan penuh rekaan dan fiksi-fiksian, sehingga dapat komentar-komentar yang tidak jauh dari yang saya alami. Pula, ternyata yang saya alami juga dirasakan oleh teman-teman sebangsa dan setanah air. Saya dalam bulan ini juga memperpanjang, persisnya mutasi (meminjam kata Pak Muhammad Armand) sandal atau terompah buatan Jepang karena ekses dari kepindahan data kependudukan saya dari kota ke kabupaten. Saya tidak akan membahas besaran biaya yang saya keluarkan, namun hanya akan sharing hasil obrolan saya dengan praktisi "biro jasa" tempat saya menitipkan untuk mengurus urusan saya. Untuk urusan perpanjangan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) biasanya saya melibatkan pihak ketiga (Biro Jasa) untuk menyelesaikan. Dalam obrolan saya dengan praktisi itu terdengarlah keluhan yang sementara ini saya berpikir positif bahwa seorang praktisi biro jasa tidak memiliki permasalahan terhadap urusannya dengan para "birokrat" yang menangani urusan surat-surat penting seperti BPKB dan STNK. Kawan saya itu cerita ngalor ngidul tentang seluk beluk urusannya. Dia juga sering menyuplai "uang pulsa" kepada "komandan" yang menjadi langganannya. Uang pulsa itu tentu bukan didasarkan pada besaran permintaan yang masuk, namun lebih kepada "uang ekstra" yang secara mendadak diminta oleh "komandan". Jadi menurutnya, "komandan" itu sudah biasa misalnya meminta kiriman pulsa kepada para biro. Sekali lagi jumlah uang itu di luar setoran karena jumlah surat yang masuk. Dia bercerita dalam sebulan bisa membayar jasa penyelesaian urusan itu minimal 2-3 juta kepada komandan. Sedangkan permintaan "pulsa" bisa lebih sering daripada pembayaran jasanya. Setiap kirim, kawan itu mengirim minimal Rp. 50.000,00. Kita bisa hitung sendiri, tinggal seberapa sering "komandan" itu minta. "Resikonya apa kalau kita tidak penuhi", tanyaku. "Wah, jangan tanya Mas. Bisa-bisa urusannya tidak akan pernah selesai" jawabnya sambil tertawa. "Itu sudah menjadi kewajiban, Mas." Dalam obrolan kami itu, kawan saya itu menyarankan, harusnya urusan-urusan seperti itu tidak melibatkan polisi. Lebih baik kita membayar langsung ke bank saja, dan urusannya hanya penyetoran berkas dan pengambilan berkas yang sudah jadi. Keuangan jangan diserahkan ke polisi, ribet, sambung kawan saya itu. Masih katanya, uang-uang seperti itu tidak akan pernah sampai kepada pemerintah. Sebenarnya berapapun administrasinya, kalau itu ketentuan resmi tidak ada masalah. tetapi untuk saat ini, uang-uang liar itu tak pernah dinikmati oleh pemerintah. Menguap begitu saja. Kami terus ngobrol ngalor ngidul, hingga akhirnya saya harus pamitan karena hari sudah malam.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun