Ketika membuka koran lokal Jakarta, pagi ini saya harus mengatur emosi. Dua rasa dan kegelisahan menghinggap dalam benakku. Keduanya sungguh kontra dan berseberangan.
Yang pertama adalah prestasi anak-anak SMK dari Solo yang telah berhasil menyentakkan rasa kepemilikan pada negeri ini dengan menciptakan mobil yang layak untuk diapresiasi oleh kita, rakyat Indonesia. Prestasi membanggakan atas kesuksesan munculnya mobil "sangat nasional" yang di juluki Kiat Esemka itu menjadi bukti bahwa anak-anak negeri ini ternyata mampu mengatrol rasa nasionalisme kita.
Walau demikian, munculnya mobil yang benar-benar nasional itu ditanggapi sumir oleh Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah, yang memang dari dulu nampak tidak memihak rakyat kecil, utamanya dengan policy yang sering diambil oleh Jokowi. Tentu komentar Bibit itu tidak mencerminkan komentar seorang pejabat publik, dan seharusnya Bibit meminta maaf pada dunia pendidikan Indonesia yang telah membesarkan siswa-siswa SMK tersebut.
Kita mungkin masih ingat ketika Jokowi bersateru dengan Bibit dalam beberapa cerita. Dan kini, perseteruan itu kembali terulang hingga Bibit mengatakan "tidak usah cari muka" menanggapi keputusan Jokowi yang menjadikan Kiat Esemka menjadi mobil dinas Wali Kota Solo dan wakilnya.
Lucu memang!
Berita yang kedua adalah tentang tragedi sendal jepit yang menghebohkan nasional. Peristiwa sendal jepit yang menjadikan tersangka AAL (15) seorang siswa SMK di kota Palu. Dugaan pencurian yang melibatkan seorang polisi sebagai korban itu menjadi cerita "pewayangannya" semakin seru.
Sebagai orang awam kita akan berpikir bahwa keseriusan pihak penegak hukum dalam mengolah masalah sendal jepit, tidak lepas dari kapasitas korban yang menjadi bagian dari penegak hukum. Dengan kata lain, bahwa si korban pencurian lebih paham seluk beluk perhukuman dan mungkin sering terbiasa bermain di bidang hukum, sehingga dengan amat mudah memberi pelajaran pada terdakwa. Walaupun itu hanya sandal butut.
Sinetron ini akan banyak memberi efek baik positif maupun negatif pada peran penegak hukum, utamanya kepolisian dan kehakiman. Bagi polisi bila memang bukti-bukti yang disodorkan korban valid, dia akan berhasil memindahkan tersangka untuk "bersekolah" di bui.
Akan tetapi ceritanya akan menjadi berbalik dan mempermalukan kepolisian bila bukti-bukti yang diajukan tidak sesuai bahkan salah. Polisi ini secara tidak langsung malah menelanjangi diri tentang kebiasaan (habit) dan attitude nya selama menjadi polisi. Sehingga masyarakat akan malah mencemooh polisi baik secara personal atau kelembagaan.
Dan betul, pada hari kemarin, 4 Januari Hakim Pengadilan Negeri Palu telah memutuskan bahwa sandal jepit yang diperkarakan oleh anggota polisi di Polda Sulawesi Tengah ternyata bukan milik yang bersangkutan.
Dengan demikian, saya sendiri meyakini bahwa upaya hukum yang dilakukan oleh korban hanya mencari sensasi dan hanyalah representasi arogansi aparat negeri ini. Semoga menjadi pelajaran berbagai pihak dan membuktikan bahwa Tuhan tidak tidur dan terus menyaksikan ulah kita semua.