Laut China Selatan wilayah maritim strategis yang kaya sumber daya alam serta jalur perdagangan internasional yang sangat penting bagi ASEAN terutama Indonesia telah menjadi sumber ketegangan geopolitik yang berkepanjangan. Klaim maritim yang tumpang tindih dari berbagai negara memicu potensi konflik yang dapat mengancam stabilitas regional dan kedaulatan Indonesia.
Sumber potensi ancaman Laut China Selatan yang kompleks berawal dari sejarah klaim maritim yang saling bertentangan, interpretasi hukum internasional yang berbeda, dan ambisi geopolitik China yang semakin ambisius untuk memperluas pengaruh di Laut China Selatan dengan melakukan aktifitas militarisasi yang provokatif.
China di bawah kepemimpinan Xi Jin Ping telah mengklaim wilayah maritimnya berdasarkan pada Sembilan garis putus-putus (nine dash line) yang tidak memiliki dasar hukum internasional dan mengabaikan UNCLOS (United Nations Convention on The Law Of The Sea).
Tindakan cina ini merupakan pelanggaran terhadap hukum intenasional dan norma-norma regional. Hal ini telah memicu kekhawatiran di kalangan negara-negara ASEAN terutama Indonesia yang memiliki klaim di Laut China Selatan.
Sebagai negara maritim terbesar di ASEAN, Indonesia memiliki kepentingan strategis untuk menjaga stabilitas dan keamanan di kawasan tersebut, Laut China Selatan bukan hanya wilayah maritim biasa, tetapi jalur perdangan vital dan sumber daya alam penting juga menjadi rumah bagi Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia yang luas, kaya akan ikan, minyak dan gas alam. Penguasaan Laut China Selatan oleh kekuatan lain dapat membatasi akses Indonesia bisa membahayakan ekonomi dan kedaulatannya.
Indonesia telah menjalankan diplomasi yang cerdas dan proaktif dalam menghadapi ancaman konflik di Laut China Selatan. Indonesia mengandalkan prinsip-prinsip hukum internasional seperti UNCLOS dan menekankan penyelesaian sengketa secara damai melalui dialog dan negosiasi serta memperkuat kerjasama ASEAN dengan membangun Code of Conduct (COC) di Laut China Selatan.
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan Indonesia, yaitu:
- Memperkuat kapasitas maritim
- Meningkatkan anggaran pertahanan dan modernisasi armada maritim termasuk membeli kapal perang dan pesawat patroli;
- Melatih dan meningkatkan profesionalisme personel maritim Indonesia; dan
- Memperkuat patroli maritim di wilayah ZEE Indonesia.
- Kerja sama internasional
- Pentingnya kerjasama dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk menghadapi hegemoni China secara kolektif;
- Membangun koalisi dengan negara-negara lain yang memiliki kepentingan di Laut China Selatan seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan dan Australia.
- Diplomasi tegas dan konsisten
- Menyatakan klaim Indonesia di Laut China Selatan dengan jelas dan tegas;
- Menolak klaim maritim China yang melanggar hukum internasional;
- Melakukan protes diplomatik terhadap tindakan agresif China;
- Membawa sengketa Laut China Selatan ke pengadilan internasional.
- Meningkatkan kesadaran publik
- Edukasi masyarakat tentang pentingnya Laut China Selatan bagi Indonesia;
- Membangun kesadaran masyarakat tentang ancaman yang di timbulkan oleh ambisi maritim China; dan
- Meningkatkan dukungan publik untuk kebijakan pemerintah dalam menghadapi China.
- Ketahanan ekonomi
- Mengurangi ketergantungan pada impor dari China;
- Diversifikasi sumber sumber perdagangan dan investasi;
- Meningkatkan ketahanan pangan dan energi nasional.
Indonesia dalam menerapkan strategi “pertahanan proaktif” ini berarti harus memperkuat kemampuannya untuk mempertahankan hak-hak maritim sambil juga membangun koalisi internasional dan menggunakan diplomasi yang tegas melawan klaim maritim China. Indonesia harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam perangkap Thucydides dimana negara yang sedang naik daun (China) menantang negara yang sudah mapan (Amerika Serikat).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H