Mohon tunggu...
Mo Meimus
Mo Meimus Mohon Tunggu... Freelance engineer, freelance teacher, freelance writer. -

Pseudonym of Utomo Priyambodo. Seorang pemalu, tapi tidak suka memukul dengan palu. Tidak suka dianggap sebagai pengarang, apalagi pembuat arang. Email: mo.meimus@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola

Kekakuan Riedl Membuat Indonesia Kalah 2-4 dari Thailand

19 November 2016   18:00 Diperbarui: 19 November 2016   18:28 1493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam postingan sebelumnya saya sudah memberi saran bahwa Alfred Riedl harus mengoptimalkan potensi pemain-pemain gelandang Timnas Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bersama, komposisi pemain yang ada dalam tubuh Timnas Indonesia saat ini, lebih banyak terdapat pemain gelandang yang hebat ketimbang striker.

Namun seperti yang saya duga pula sebelumnya, Riedl adalah pelatih yang sangat kaku dengan formasi 4-4-2 favoritnya. Dalam pertandingan antara Indonesia melawan Thailand hari ini Rield ngotot memasukkan Lerby sebagai penyerang pendamping Boaz. Kita sama-sama tahu bahwa kualitas Lerby sangat jauh di bawah Irfan Bachdim yang gagal ikut Piala AFF 2016 ini lantaran dibekap cidera.

Dalam pertandingan itu penampilan Lerby masih jauh dari kata memuaskan meski ia beruntung bisa mencetak gol. Pergerakannya lambat, sulit mengimbangi kecepatan Boaz, Andik, maupun Rizky Pora. Peluang justru banyak diciptakan dan didapatkan oleh Lilipaly yang rajin bergerak dari sektor tengah, termasuk pula oleh Boaz. Stamina Lerby pun payah tidak seperti Bachdim yang rajin bergerak ke sana-kemari bahkan sering turun ke bawah untuk membantu pertahanan dan menjemput bola, sehingga ia memang layak diganti dibabak kedua oleh Riedl.

Komentator bola RCTI pun menyayangkan Riedl tidak memainkan Evan Dimas sebagai starter sehingga Timnas tidak memiliki playmaker di lapangan tengah dan miskin kreativitas dalam bermain. Kedua goal yang dicetak Timnas lebih disebabkan karena pemain-pemain belakang Thailand lengah dalam menghalau umpan-umpan lambung dari kiri dan kanan Timnas. Bukan gol hasil kerjasama atau permainan satu-dua yang apik dari lini tengah.

Di sisi lain Timnas sering kewalahan oleh penguasaan bola dan serangan yang dilakukan oleh Thailand. Di lapangan tengah pemain-pemain Indonesia kalah telak oleh Thailand yang memakai formasi 3-5-2. Saya pribadi masih tidak habis pikir mengapa Riedl memaksakan untuk memainkan Lerby sebagai starting eleven Indonesia hari ini hanya agar Indonesia memiliki 2 penyerang di depan.

Kekakuan Riedl Sama dengan Kekakuan PSSI

Kekakuan formasi Riedl yang perlu dikritik ini sama halnya dengan kekakuan PSSI yang memberi aturan bahwa pemain yang dibawa Timnas harus dibatasi maksimal 2 pemain dari satu klub. Kesepakatan antara PSSI dan penyelenggara ISC A Torabika sebagai Liga Indonesia yang aktif saat ini tentu sangat perlu disayangkan, bahkan kalau perlu dimaki-maki. Bagaimana mungkin kepentingan klub lebih diutamakan dibanding kepentingan Timnas Indonesia yang notabene mewakili kepentingan negara, bangsa, rakyat, dan tanah air?

Peraturan yang kaku dari PSSI ini membuat sejumlah pemain tidak bisa dipilih oleh Alfred Riedl. Seperti misalnya Johan Alfarizi sebagai bek kiri dari Arema Cronus tidak bisa diikutkan ke dalam Timnas karena sudah ada Kurnia Meiga dan Benny Wahyudi di Timnas yang juga berasal dari Arema. Paulo Oktavianus Sitanggang sebagai pemain tengah masa depan Indonesia seperti halnya Evan Dimas juga tidak bisa dipilih karena sudah ada Rizky Rizaldy Pora dan Hansamu Yama Pranata di Timnas yang juga berasal dari klub Barito Putera. Dan pemain muda paling menjanjikan, wonderkid asal Bandung, yakni Febri Haryadi juga tidak bisa dipanggil ke dalam Timnas Indonesia karena sudah ada Zulham Zamrun dan Yanto Basna yang juga berasal dari Persib.

Kekakuan-kekakuan seperti inilah yang membuat Indonesia sulit maju dalam segala bidang. Kekakuan yang menjadikan penghambat kejayaan Merah-Putih. Timnas maupun bangsa Indonesia pada umumnya semestinya bisa fleksibel, dinamis, dan cepat beradaptasi dengan segala keadaan yang ada. Cepat baca situasi dan kondisi. Jangan mempersulit keadaan sendiri.Sebagaimana halnya kita perlu membuang birokrasi di Indonesia yang kaku dan sering mempersulit rakyat sendiri.

Jika slogan “Kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?” masih berlaku pada orang-orang ataupun lembaga-lembaga yang memiliki kekuasaan-kekuasaan tertentu di Indonesia, jangan harap Indonesia bisa menjadi negara yang maju, menang, dan berjaya di dunia. Kekakuan hanya akan menghasilkan keterpurukan.[UP]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun