Secara umum, kita memahami bahwa puasa adalah kegiatan menahan diri dari segala hal yang berhubungan dengan nafsu ; nafsu makan dan minum, nafsu amarah, nafsu berahi dan seterusnya. Puasa berarti meniadakan itu semua dengan landasan niat dan tujuan. Namun selain itu, puasa sendiri juga dibarengi oleh kuasa, sehingga memberikan sama dengan yakni berkuasa untuk berpuasa.Â
Di dalam berpuasa, satu yang perlu dipahami dan disadari secara sadar. Yakni, puasa merupakan sebuah ajang untuk belajar. Belajar menahan, salah satunya.Â
Loh, kok bisa? Puasa sudah menahan kok malah disuruh belajar menahan?Â
Aku pernah saat siang bolong bulan Ramadan, sengaja keluar untuk melihat warung-warung yang buka siang itu, ya, warung bersarung. Aroma bumbu soto mengepul masuk ke dalam hidung, dan alhamdulillah perutku bisa merespon cepat dengan bunyi-bunyi khas kelaparan biasanya. Belum lagi pembeli yang dengan sengaja memotret makanan itu, kemudian mengekshibisikan ke semua orang melalui sosial medianya. Maka alhasil respon perut sepertinya menjalar ke otak dan hati dengan cepat. Aku berpikir kenapa orang-orang tidak berpikir, Â di bulan menahan seperti ini, mengapa mereka dengan terang-terangan memancing orang lain untuk membatalkan saja puasanya. Â Eh, yaaa amplop, kenapa aku emosi ya? Bukannya ini bulan untuk menahan?Â
Nggak, maksudku, kita hidup di negara egaliter seperti ini, kenapa mereka masih tidak bersifat senasib, gitu loh. Kalau kalian jadi aku, pasti ya berpikir seperti itu, bukan?Â
Tapi, setop dulu emosinya, tahan, tahan, sebentar lagi magrib. Jika kita berkuasa untuk puasa, apakah kita juga berhak menjadi yang paling berkuasa?Â
Puasa berarti kita juga harus ikhlas, salah satunya ikhlas memberikan hak pilih kepada mereka yang memilih untuk mokel atau membuka warung bersarung di pinggir jalan seperti itu.Â
Jadi, kuasa kita untuk berpuasa merupakan sarana yang tepat untuk terus belajar dan mengelaborasi esensi dari menahan itu sendiri. Belajar menahan berarti kita juga harus menahan untuk lapar yang berhubungan juga dengan warung bersarung tadi, menahan amarah untuk tidak marah-marah ketika merasa tidak dihargai.Â
Dan, kembali lagi, di sini memang egaliter,Â
Artinya bersifat sama, tidak ada yang namanya penguasa.Â