Kami menemukannya di sudut pasar ikan dalam keadaan kurus tak berbaju. Ia tak kenal bapaknya dan baru saja dibuang ke sembarang tempat begitu masa menyusuinya habis. Air mukanya runtuh, matanya keruh, kotor dan gemetar lapar. Kami segera memutuskan untuk mengadopsinya atau ia akan mati terjerembab ke pelimbahan, memandang kaki–kaki kecilnya sangat rapuh.
Gadis kecil ini tidak bicara dan tidak dibekali uang. Bahkan ia sama sekali tak punya nama. Bismillah, kami hadiahkan kepadanya sebuah nickname cantik: Moza. Moza dibersihkan, diberi susu, makanan hangat dan butuh dua hari untuk terlihat hidup. Mata keruhnya pelan–pelan membinar, ia ingin mengucapkan terima kasih, tapi ia tidak bisa bicara. Sebagai gantinya Moza mempersembahkan tarian berupa lompatan–lompatan aneh menggemaskan sebagai tanda terima kasih. Kami bahagia melihat Moza selamat dan ia resmi menjadi bagian dari keluarga kecil kami.
Pasar itu begitu kejam pada Moza. Tanpa uang Moza tidak akan pernah mendapat makanan layak apa pun, kecuali sisa kepala ikan busuk atau perut ayam yang tercecer. Bahkan mungkin pada suatu saat Moza hanya bisa mengunyah lipas atau jangkrik yang sedang sial, jika usus ayam, atau kepala ikan dan segala limbah pasar lainnya makin dianggap punya nilai ekonomis untuk ditukar dengan uang sebagai makanan lele atau itik.
Untunglah sejauh ini ada pedagang mulia yang memberikan makanan sisa, atau remah–remah pasar yang tak punya nilai uang, sama seperti dirinya yang tak bisa dikalkulasi dengan nominal. Benar, Moza tak punya nilai pasar. Sebuah label keji telah ditancapkan kepada makhluk pemburu yang dianggap memiliki kasta terendah ini: kucing kampung.
Nama Moza kami temukan dari sepetik sejarah Nabi Muhammad yang sangat menyayangi kucing bernama “Mueeza”. Moza hanyalah kucing biasa yang tak dilirik Cat Lovers. Sebagai kucing domestik khas Indonesia, jenis Moza terlalu banyak merayap di jalan–jalan dengan rupa ala kadar dan bau amis abadi. Padahal dari segala jenis kucing, Moza termasuk predator paling mematikan. Ia sangat dapat diandalkan untuk menghabisi semua makhluk pengerat berpenyakit itu dalam sekejap. Moza adalah saingan sengit bagi industri lem, racun dan perangkap tikus.
Kucing–kucing bermata malas dan penidur macam Anggora, Persia atau Russian Blue yang hanya mengandalkan keindahan bulu, itulah yang justru dipeluk paling banyak. Kepada Moza yang enerjik dan gesit berlaku kutukan supply and demand. Terlalu melimpah, tanpa permintaan pasar dan menyentuh level nol rupiah setara limbah.
Moza memikul aib kucing kebanyakan yang leceh. Padahal jika diamati, jenis kucing ini memiliki bentuk hidung dan mata berwarna yang sempurna. Bulu–bulunya bisa mengkilap dan tebal jika diberi makanan yang tepat. Bahkan Moza jauh lebih jelita dibanding Persia Peaknose bermuka masam yang hidungnya terlihat seperti ujung helm tentara Nazi saat tiarap di dalam lumpur.
Puluhan hingga mungkin ratusan juta rupiah telah dihabiskan oleh pecinta kucing, mulai makanan, vitamin, vaksin, perawatan, kandang dan mainan. Ini adalah semacam permainan kepercayaan, bahwa dalil-dalil tentang kasta kucing dan harga yang pantas untuk dibayar dan jika semua sudah percaya, berapa pun itu, dianggap lumrah.
Yang untung besar dalam hal ini adalah industri perkucingan. Merekalah yang membangun imej dan membentuk harga. Tidak akan ada yang berani membantah. Pemilik kucing–kucing mahal ini hanya mendapati masa–masa indah fatamorgana sampai makhluk berumur pendek tersebut menua dan mati, lalu ditukar lagi dengan kucing–kucing muda, yang semakin lama harga dan perawatannya semakin mahal saja. Meeoonng..!
****
Tak ada yang mampu menundukkan pasar. Pasar tak bisa ditaklukkan dengan palu Thor, panah-panah Spartan atau mata laser Superman. Ia selalu perkasa dan pejal. Jika pemerintah mengumumkan harga bahan bakar atau gaji pegawai naik, maka pasar akan bergerak secepat bajingan untuk menaikkan harga. Jika sudah naik jangan berharap bisa turun, biar pun dewa petir Zeus ikut berteriak.