Nasionalisme akan menyentuh titik paling romantis bagi bangsa Indonesia saat menjelang detik–detik Proklamasi. Derap langkah pasukan pengibar Bendera Merah Putih dan alunan Indonesia Raya menjadi helat agung sepanjang dirgahayu republik ini. Selain soal romantika masa silam, nasionalisme di jantung Indonesia akan berdegup keras jika terjadi ancaman, apakah itu secara teritorial, identitas atau harga diri.
Primordialisme sebenarnya merupakan nasionalisme dalam level embrio. Tapi dasar manusia selalu ambigu, sikap primordial dinilai minor sedangkan nasionalis dianggap patriot. Dalam dialektika liberalisme pula, keduanya dinista sebagai langkah mundur. Nasionalisme dan liberalisme adalah dua polar yang terus menerus berkelahi. Dari pisau bedah filosofis, tidak ada kebenaran mutlak di antara keduanya. Karena manusia menyandang dua hal sekaligus: primitif dan futuristik.
'Seorang Amerika’ bernama Arcandra Tahar tertuduh melakukan penyusupan ke Kabinet Jokowi sebagai Menteri ESDM. Tahar gagal total melewati test the water di media sosial Indonesia. Ia serta merta menjadi figur antagonis yang paling dikecam netizen untuk tidak mengatakan kemampuan intelijen Indonesia sangat lemah, atau status kewarganegaraan Tahar bisa ditukangi nanti-nanti. Merespon reaksi publik, menjelang detik–detik romantisme Proklamasi tepatnya 15 Agustus 2016, Tahar segera diumumkan pemberhentiannya.
Getar–getar nasionalisme yang diperkuat dengan kebencian patologis pada Amerika Serikat yang selalu mengusik dan mengisap Indonesia, membuat Tahar mati gaya. Kulit coklat dan gestur Minang Kabau seorang Tahar tak kuat menahan lagi untuk ia bisa lebih lama ada di negeri moyangnya sendiri. Bukti paspor Amerika Serikat miliknya beredar cepat. Tersebab Indonesia tidak melegalisasi kewarganegaraan ganda apalagi untuk posisi menteri.
Menaruh curiga pada gerak–gerik Tahar menjadi patut lantaran belum apa–apa, hanya dalam hitungan hari jadi menteri ia sudah meloloskan kepentingan Amerika dalam rangka pengisapan Indonesia dengan meneken rekomendasi perpanjangan izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia. Namun kabar angin adanya jaringan mafioso migas Indonesia yang merasa terancam dengan sinyal manuver sapu bersih dari sosok expert perminyakan dunia ini adalah hal lain yang lebih serius. Kelanjutan peristiwa ini akan menjadi drama detektif yang asyik ditonton.
Keluar dari itu semua, lepasnya Tahar dari pelukan Bunda Pertiwi yang baru saja mendekapnya sebentar, membuat Indonesia menambah deretan panjang daftar orang pintar Indonesia yang tak mendapat tempat di negeri sendiri. Arcandra Tahar adalah diaspora (orang perantuan) Indonesia berkualitas tinggi. Keahliannya sangat dibutuhkan bahkan untuk negara semaju Amerika Serikat. Lagi–lagi yang terjadi adalah brain drain atau human capital flight, yaitu peristiwa hilangnya tenaga ahli, pemikir, intelektual potensial dari negeri ini untuk mengabdi di negara lain.
Brain drain merupakan fenomena global yang acap mendera negara berkembang sejak Perang Dunia II. Banyak negara miskin yang kehilangan warga negara terbaiknya akibat potensi mereka berada di atas kebutuhan negara yang bersangkutan baik secara teknologi maupun oleh tarikan negara maju yang siap menampung mereka. Sebagai misal, dari laporan UNDP (Amich Alhumami: 2007), mencari dokter ahli asal Ethiopia di Amerika jauh lebih mudah dibanding mencarinya di Ethiopia sendiri.
Pada umumnya pelaku brain drain adalah generasi muda yang memiliki kemampuan di atas rata–rata dan mengambil kosentrasi pada bidang teknologi nuklir, astronomi, pertambangan, kedokteran, akademisi, kedirgantaraan dan sebagainya. Minimnya fasilitas, relevansi tingkat keahlian, rendahnya penghargaan yang diberikan Indonesia serta terbukanya akses yang luas ke dunia internasional membuat mereka memilih menetap di luar negeri.
Belum ada data valid berapa ribu otak cerdas Indonesia yang dipakai untuk berpikir bagi kebutuhan negara yang mengadopsi mereka. Ada yang memperkirakan jumlah diaspora cerdas Indonesia berkisar 5 persen, itu artinya mencapai 12.500.000 orang dari 250 juta populasi penduduk. Fakta yang sangat menyesakkan di tengah negeri ini yang kekurangan tenaga ahli, dan ironinya Indonesia harus mengimpor lagi tenaga kerja asing untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Beberapa ahli asal Indonesia melakukan rangkaian penelitian yang dibiayai luar negeri. Temuan mereka dipatenkan dan Indonesia harus membayar royalti untuk hasil karya anak bangsanya sendiri. BJ Habibie bisa saja terjangkit amnesia pada Indonesia bila Soeharto tidak cepat–cepat mengutus Ibnu Sutowo untuk menjemputnya dari Jerman. Sebelumnya Soekarno yang terlalu nasionalistik tak pernah menggubris proposal Habibie dan dianggap sebagai anak muda yang terlalu Jerman.
Kondisi politik sebuah bangsa, tradisi keilmuan dan kurangnya apresiasi di negara asalnya membuat Alexander Graham Bell bermigrasi dari Skotlandia untuk membuat telepon di Amerika. Atau Jhon Von Neuman, seorang Hungaria yang juga merasa hanya Amerika yang bisa menampung otaknya untuk kemudian menciptakan basis komputerisasi yang kita kenal sekarang ini.