Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mari Bersama Membakar Berita Sampah

13 Februari 2017   12:41 Diperbarui: 13 Februari 2017   13:08 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: payload.cargocollective.com

Sejarah pers Indonesia lahir adalah jalan panjang pada upaya untuk menubuhkan bahasa secara terus menerus sekaligus memahat kesatuan tanah dan air dalam membangun kesadaran berbangsa. Jalan itu telah pun melahirkan ribuan media massa sekait dengan berbaris - baris tokoh penting di dalamnya.

Berbanggalah wartawan Indonesia karena sederet pelaku sejarah di negeri ini sebelumnya adalah para pewarta. Antara lain untuk tidak menyebut keseluruhan: Soekarno, Hatta, DR Soetomo, Ahmad Dahlan, Muhammad Natsir, Dowes Deker, Hos Tjokroaminoto, Agus Salim, Ki Hajar Dewantara, Sutan Takdir Alisjahbana, Adam Malik, Hamka, Pramoedya Ananta Toer, Harmoko, Rosihan Anwar, Muktar Lubis dan seterusnya.

Berdukalah wartawan Indonesia ketika mengenang sejarah pers Indonesia sebagai sejarah pelanggaran terhadap kebebasan pers. Bisa demikian, karena sejak pers itu lahir hingga di ambang reformasi adalah zaman pemasungan kemerdekaan menyiarkan berita.

Pada 1856, oleh kolonial Belanda, sudah muncul peraturan pertama mengenai pers sebagai sensor preventif terhadap gerakan media massa. Masa 1906 Belanda makin keras, dari preventif menjadi represif. Kemudian pada 1931 lahirlah Persbreidel Ordonnantie, yang menjadi malaikat maut bagi segala usaha penerbitan pers yang tidak sepihak dengan penguasa.

Persbreidel Ordonnantie ini ditiru oleh Orde Lama dan Orde Baru. Namun di sela – sela itu ada masanya pers Indonesia merasakan bulan madu dengan pemerintah yakni pada zaman liberal (1945 – 1949) dan awal – awal Soeharto berkuasa. Orde Baru pertamanya memang mengakrabi pers karena butuh penyiaran untuk konsolidasi kekuasaan sampai ketika pers mulai mencium aroma korupsi di tubuh birokrasi. Klimaksnya, pada Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974 meletus, Orde Baru membreidel 12 surat kabar dan ratusan lagi menyusul dalam rentang waktu yang panjang.

Ekspresi muak karena dikontrol terlalu lama oleh Orde Baru, melahirkan pers euforia di era reformasi, yang betul – betul berpesta pora dengan kebebasan. Surat kabar bisa terbit tanpa izin apapun dan menyiarkan berita apa saja. Era ini juga memunculkan pers partisan untuk semata – mata bertujuan politis, pers pornografi dan infotainment yang berprilaku sebagai seolah – olah pers, serta yang mendadak pers: tanpa modal dan kecakapan jurnalisme.

Di masa milenial sekarang, sosial media mengambil alih sebagian atensi publik dari media konvensional ke berita – berita portal atau yang disiarkan oleh netizen dalam kelompok citizen journalism. Sayangnya media – media macam ini di antaranya kerap diboncengi oleh ketidakpatuhan dan ketidaktahuan pada kode etik, standar jurnalistik dan regulasi pers.

Tidak hanya mutu berita yang terabaikan, kelebatan cepat berita murah meriah di dinding sosial media juga intens menyajikan hoax, fake news, foto – foto sadis, pornografi dan konten yang tak mendidik bahkan menjerumuskan pembaca pada lembah kebodohan. Beberapa portal yang menjalankan bisnis PPC (pay per click) dan konten bersponsor hanya mampu mengumbar judul – judul sensasional demi uang yang di dalamnya terkadang hanya berisi sampah. Sementara, banyak publik yang memukul rata bahwa semua teks dan gambar yang muncul seolah – olah berita itu adalah produk pers an sich.

Kembali ke Tanah Air Bahasa yang sudah dibangun oleh pers Indonesia, yang menyandang misi patriot untuk memahat kesatuan tanah dan air dalam upaya membangun kesadaran berbangsa dan bernegara, tidak merasa dipukul mundur oleh serangan kabar - kabar absurd sebagai keniscayaan sosial media, sebagai kekalutan abad digital.  

Pers Indonesia harus kuat dan sehat untuk berada di shaf terdepan dalam membenahi persoalan ini untuk menyelamatkan peradaban jurnalisme ke depan. Mari bergandeng bahu bersama segenap lainnya untuk membakar semua berita sampah. Pers Indonesia tentu saja bisa memulihkan dirinya dengan memperkuat esprit de corp. Selamat Hari Pers Nasional (HPN) 2017. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun