Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jauhkan Kultus Individu, Kita Semua Juara Satu

10 Oktober 2016   13:41 Diperbarui: 4 Maret 2019   15:20 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi: www.lonelyplanet.com

Sekitar 350 juta pasukan berani mati berenang beriringan dalam sebuah tabung pengap menuju tuba falopi. Meski jumlahnya satu setengah kali lipat penduduk Indonesia, namun hanya satu yang selamat dan sisanya segera musnah.

Yang selamat adalah yang tercepat dan yang paling tangguh sehingga mampu menembus ovarium. Dia adalah kita di alam malakut dan menjadi kita yang dewasa. Kita semua yang berhasil terlahir ke dunia adalah kumpulan para juara satu yang mampu menyisihkan ratusan juta lainnya.

Namun begitu kita muncul ke muka bumi dan tumbuh sebagai manusia, nyaris semua kita terkulai sebagai pecundang, hanya seujung kuku yang tetap bertahan menjadi juara satu.

Apakah kita setara dengan sabda Josef Stalin berikut ini: kematian satu orang adalah tragedi. Kematian satu juta orang adalah statistik. Stalin merasa mendapat pembenaran atas logika miringnya karena dia sudah dikultuskan. Ia kemudian merasa menjadi satu yang penting dari sejuta yang hanya angka - angka.

Jamak di antara manusia memiliki tabiat mendewakan seseorang yang bukan Tuhan sambil sekaligus kufur atas nikmat juara satu yang telah dititipkan kepadanya sejak masih berbentuk noktah.

Kultus individu pada dasarnya adalah bentuk mitologi terhadap manusia. Dalam mitologi, manusia diangkat dari dimensi kemanusiaannya oleh manusia–manusia pecundang yang merasa diri mereka akan terhenyak selamanya di titik lemah kehidupan. Mereka butuh idola (sila baca episode Sang Maha Hatter), dari sekadar untuk dielukan hingga menjadi wakil Tuhan di bumi.

Dahulu kala, Fir’aun –yang mengaku dirinya sebagai tuhan– dipuja-puja oleh pengikutnya sehingga dianggap tak pernah bersalah. Demikian juga Hitler dan Musolini sebagai diktator yang diagungkan kehebatannya.

Kultus individu atau pemujaan kepribadian (cult of personality) banyak ditemui dalam negara dengan sistem diktator. Rezim yang sering dianggap melakukan pemujaan kepribadian di antaranya adalah Joseph Stalin (Uni Soviet), Mao Zedong (Tiongkok), Nicolae CeauÅŸescu (Rumania), Saparmurat Niyazov (Turkmenistan), Ho Chi Minh (Vietnam), Soekarno dan Soeharto (Indonesia), Fidel Castro (Kuba), Mobutu Sese Seko (Zaire, sekarang Republik Demokratik Kongo), Kim Il-Sung dan anaknya, Kim Jong-Il (Korea Utara) dan masih banyak lagi.

Pemujaan berlebihan kepada raja–raja dari masa lalu, pesohor-pesohor dari dunia seni, kelompok retoris–agitator hingga kepada mistikus pemuka agama di atas kadar sesungguhnya yang mereka miliki, bahkan tidak sejalan dalam pandangan Islam.

Kultus individu mengangkat derajat manusia sebagai orang suci, sedangkan Islam memandang tidak ada yang maksum kecuali Baginda Nabi meski beliau sendiri menolak pemujaan. Kemuliaan atau kehormatan seseorang atau sekelompok orang hanya dinilai oleh Tuhan dari sisi ketaatannya, yang itu selalu bersifat non-material tanpa butuh pemujaan.

Sejatinya manusia bersifat merdeka terhadap manusia lainnya (egalitarian). Kultus adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan itu. Jika manusia bisa salah, maka kultus menjadikannya suci. Pemuja kultus membentengi tuannya dari segala kritik dan hardik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun