Otonomi Daerah digagas untuk meredupkan bara disintegrasi yang memuncaki isu-isu krusial di ambang reformasi hampir dua dasawarsa lalu. Silakan tiap daerah mengurus rumah tangga mereka sendiri, tapi hal-hal yang menyangkut kepentingan nasional mutlak menjadi urusan pusat.
Jakarta memandang perlu untuk memata-matai dan membina “raja-raja kecil” di daerah ini agar tidak melunjak. Tugas sebagai mata-mata itu diembankan kepada gubernur. Perhatikan para gubenur hari ini, hampir semua telah “mengkhianati” tugas pokok mereka sebagai orang pusat.
Mari kita bernostalgia sejenak: lokus Otonomi Daerah ada di tingkat Kabupaten dan Kota. Walikota dan bupati menyandang derajat desentralisasi yang sudah ditakar sesuai konsep NKRI dan setingkat di bawah federal. Sementara gubernur adalah wakil Pemerintah Pusat yang ditempatkan di daerah. Kepada mereka diberikan fungsi dekonsentrasi. Idealnya gubernur langsung ditunjuk dari istana, untuk tidak mengikuti proses seleksi di tingkat lokal yang selalu riuh.
Para calon gubernur yang nantinya akan menjadi orang pusat, harus melewati hari-hari berat untuk menjemput suara rakyat. Akibatnya mereka menjadi “genit” dan menyusun janji-janji di atas batas kewenangan. Sebagai pengingat, secara normatif, gubernur tak punya wilayah teritorial, bukan jabatan politis dan hanya mengurus persoalan administrasi. Posisi asali seorang gubernur adalah sebagai agen antara (intermediary) antara pusat dengan daerah yang berfungsi menjadi pembina dan pengawas.
Saya sudah lama ingin mengatakan ini. Apakah kita telah lupa atau sebenarnya tidak tahu sama sekali sehingga menyeret gubernur terlalu jauh ke dalam pusaran politik lokal. Padahal jika pusat ingin tegas, gubernur yang gagal menjalankan fungsinya sesuai Pasal 91 UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, sebenarnya telah sekaligus mendagradasi dirinya di mata pusat. Hukumannya: jabatan mereka dilepas dan langsung diambil alih oleh Menteri Dalam Negeri.
Gubernur-gubernur lupa diri sehingga bergerak secara artifisial guna memancing reaksi publik boleh saja dikategorikan sebagai gubernur gagal, karena mereka telah lari dari fokus utama sebagai wakil pusat, bukan sebagai pemain politik di tingkat lokal.
Degradasi peran gubernur mencapai klimaks menjelang dilaksanakannya Pilgub di mana mereka tampil sebagai petahana. Hal ini berpotensi menimbulkan pertandingan berat sebelah jika sang gubernur petahana memaksimalkan posisi dan fasilitas yang dimilikinya untuk menang.
****
Posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat seperti dinyatakan oleh regulasi tidak boleh dianggap remeh. Pada saat ini, memang sangat diperlukan adanya revitalisasi terhadap dekonsentrasi dikaitkan regulasi UU Pemerintahan Daerah yang baru. Guna merevitalisasi dekonsentrasi, pada saat ini sangat diperlukan adanya suatu regulasi yang menyebutkan secara eksplisit dalam pasalnya tentang dekonsentrasi.
Meskipun dekonsentrasi merupakan kewenangan yang melekat (atributif) pada gubernur, akan tetapi penyebutan secara eksplisit dalam regulasi sangat diperlukan agar dapat memberikan landasan konstitusional terhadap asas dekonsentrasi. Dan tidak kalah pentingnya menghindari adanya multitafsir, ketidakpastian hukum serta adanya banyak penyimpangan.
Menimbang eksistensinya, dan betapa dahsyatnya kecamuk suksesi gubernur di tiap daerah dengan pra kondisi: menghabiskan anggaran, potensi konflik, potensi kecurangan dan seterusnya, ada baiknya kita membuat Rencana B, yakni Depolitisasi Gubernur. Dengan demikian gubernur akan langsung ditunjuk oleh pusat agar tugas-tugas utama mereka di antaranya mengamankan kepentingan nasional di level lokal serta memastikan agar tidak terjadi gap yang dalam antar daerah, lebih optimal. Depolitisasi semacam ini membuat gubernur dapat lebih berkonsentrasi menjalankan fungsinya dan terhindar dari gangguan kebisingan politik lokal.