Henry David Thoreau, seorang Filsuf Amerika berkata, tidaklah cukup dengan hanya menyibukkan diri Anda, semut pun sibuk. Pertanyaannya adalah, apa yang menyibukkan Anda?
Ia menyeret kita untuk berkontemplasi: apa yang telah menyibukkan kita selama ini? Jangan–jangan kesibukan semut lebih berguna dari kesibukan kita. Kepada kita, Tuhan telah memberikan hadiah 86.400 detik dalam sehari. Bukan hoax, ini benar – benar hadiah. Tidak percaya? Bagaimana dengan pilihan sulit ini: seseorang memberikan kita satu miliar, dengan catatan, kematian kita akan dipercepat satu tahun.
Kalau boleh menebak, hampir semua kita pernah bahkan berulang-ulang membuang hadiah dari Tuhan itu ke keranjang sampah. Seseorang dengan enteng berkata, ia akan membunuh waktu. Yang benar saja, bagaimana kita bisa membunuh sesuatu yang terus menindih kita. Waktu mendekap kita sejak lahir dan menyentak kita ke batas akhir, itulah deadline hidup. Sedangkan waktu tak pernah membocorkan rahasia kepada siapapun, di mana batas akhir itu. Karena waktu telah bersekongkol dengan maut yang mengintip dan mengendap–endap.
Kata Aa Gym, dalam satu hari ada yang bisa mengerjakan 100 macam pekerjaan, ada yang menyanggupi 50 pekerjaan, ada yang tuntas 10 pekerjaan, ada yang hanya berhasil dengan satu pekerjaan, bahkan ada yang dalam 24 jam, untuk mengurus diri saja tidak sanggup. Golongan yang manakah kita?
Dalam buku First Thing First, Stephen R Covey membagi manajemen waktu ke dalam empat kuadran yakni: Kuadran I (penting dan genting), Kuadran II (penting dan tidak genting), Kuadran III (tidak penting dan genting) dan Kuadran IV (tidak penting dan tidak genting). Artinya untuk menghindari situasi panik pada Kuadran I, maka kita harus mengerjakan hal yang paling penting tanpa menunggu situasi menjadi genting hingga melanggar deadline.
Seorang pejabat publik akan selalu berada di Kuadran I karena mereka memiliki sederet hal penting. Bagian terpenting dilakukan oleh seorang pemimpin daerah misalnya mewujudkan visi dengan – sebutlah - menerapkan fungsi manajemen POAC (planning, organizing, actuating, controlling) yang tentu saja sangat ketat. Maka deadline lima tahun untuk mewujudkan visi besar seorang kepala daerah tidak akan pernah cukup jika hari-hari mereka selalu diusik oleh jemputan-jemputan sepele, seperti menggunting pita dan aneka ritus seremonia tak penting lainnya. Kecuali sang pemimpin sendiri yang ingin menaruh waktunya pada Kuadran III: (menganggap) tidak penting tapi selalu genting.
Dalam satu windu terakhir, kaum digital sudah mengidap smartphone syndrome, semacam jebakan yang membuat kita melenggang dalam swallow work atau aktivitas dangkal pembunuh waktu produktif yang tidak berdampak pada peningkatan skill dan income. Aktivitas semacam ini hanya bisa dilakukan oleh orang–orang yang menempatkan hidupnya di Kuadran IV, semua (menjadi) tidak penting dan tidak genting.
Sebagai bahan permenungan mari kita berguru kepada semut yang oleh Filsuf Thoreau agak sedikit diremehkan itu. Sebagian besar semut dikenal sebagai serangga sosial, dengan koloni dan sarang-sarangnya yang teratur beranggotakan ribuan semut per koloni. Anggota koloni terbagi menjadi semut pekerja, semut pejantan, dan ratu semut. Dimungkinkan pula terdapat kelompok semut penjaga atau tentara. Tanpa jenjang karir, tanpa reshuffle karena semut menghindari intriks politik dan konflik serta profesional pada bidangnya.
Meskipun ukuran tubuh mereka relatif kecil, semut adalah super hero. Semut jantan mampu menopang beban dengan bobot lima puluh kali berat badan mereka, bandingkan dengan gajah yang hanya mampu mengangkat beban dengan berat dua kali dari badannya. Semut hanya tersaingi oleh kumbang badak yang mampu menopang beban dengan berat 850 kali lipat dari tubuhnya.
Dalam etos kerja, ketekunan dalam menghadapi rintangan, kepekaan terhadap sekitar, kebersamaan hidup dalam koloni, produktifitas super dan efisiensi waktu adalah hal yang patut ditiru dari bangsa semut. Semut memang sibuk, sibuk dalam membangun peradaban, menyimpan cadangan makanan, bergotong royong, bebas konflik dan terus membahu tanpa jeda. Lalu kita, apa pula yang kita sibukkan? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H