Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mengapa Tuhan Tak Bilang ke Nabi-nabi Abrahamik Bahwa Bumi Ini Bulat dan Berputar?

15 Juni 2024   09:13 Diperbarui: 15 Juni 2024   11:08 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pencerapan kita terhadap fakta semesta laksana meloloskan seekor unta dari lubang jarum. Yang paling mungkin dilakukan adalah mengintip unta dari lubang jarum itu. Tentang sebuah apel yang berwarna merah misalnya, tidak ada apel di dunia ini yang berwarna merah. Apel dan semua objek berwarna merah justru menyerap seluruh spektrum warna, kecuali warna merah (yang dianggap melekat pada dirinya) untuk kemudian dipantulkan ke mata kita.

Bintang yang kita lihat di langit malam, bisa jadi adalah kiriman cahaya dari bintang sejuta tahun sebelum nabi Adam diciptakan. Bicara tentang Adam yang diriwayatkan setinggi 60 hasta atau 2.700 cm, tidak bisa disederhanakan dengan purbasangka primitif kita. Adam (harusnya) adalah raksasa tanpa pusar seberat hampir tiga ton, yang akan membuat gempa kecil ketika ia berjalan. Tanpa pusar? Harusnya demikian, karena Adam dan Hawa tak butuh plasenta, mereka tidak tumbuh dari rahim ibu.

Kita diturunkan dari DNA purbawi yang menyimpan memori bumi datar, dan tertancap kuat. Sehingga kendati kita tahu dan membaca fakta tentang solar system dan hypergalaxy, alam bawah sadar kita tetap menganggap Tuhan tegak lurus di atas ubun-ubun, sedangkan faktanya, langit itu jungkir balik dan melesat hebat setiap detiknya.

Bila bumi berhenti berotasi, maka kita akan terlempar ke timur selaju dua kali lipat kecepatan pesawat komersial. Mengapa pesawat tidak terpengaruh rotasi bumi dengan kecepatan 1.670 kilometer per jam itu? Di bawah atmosfer, pesawat seperti seekor capung di dalam gerbong kereta supersonik.

Mengapa Tuhan tidak mengatakan kepada nabi-nabi Abrahamik bahwa bumi ini bulat dan berputar, sehingga Galileo tidak perlu diburu? Jika bumi tidak bulat, lalu bayangan apa yang sedang menutupi bulan? Fenomena gerhana dan seterusnya. Ketika malam, matahari bukan sedang bersujud, dan sepertiga malam terakhir (ketika Tuhan turun ke langit dunia; jika ingin ditafsirkan secara literal) akan terjadi sepanjang waktu di permukaan bumi.

Kita diturunkan dari DNA purbawi yang menyimpan memori bumi datar, dan tertancap kuat. Sehingga kendati kita tahu dan membaca fakta tentang solar system dan hypergalaxy, alam bawah sadar kita tetap menganggap Tuhan tegak lurus di atas ubun-ubun, sedangkan faktanya, langit itu jungkir balik dan melesat hebat setiap detiknya.

Baca: Missing Link dan Duplikasi Kitab Suci dalam Kredo Israel

Cara manusia memandang dunia, dianalogikan oleh Donald D. Hoffman dengan metafora desktop komputer dan ikon-ikon desktop komputer menyediakan antarmuka fungsional sehingga pengguna tidak harus berurusan dengan pemrograman dan elektronik yang mendasarinya untuk menggunakan komputer secara efisien.

Pengalaman perseptual manusia tidak cocok untuk mendekati sifat-sifat dunia objektif, melainkan menyediakan antarmuka pengguna yang disederhanakan, manusia tidak berevolusi untuk memahami dunia sebagaimana adanya tetapi telah berevolusi untuk memahami dunia dengan cara memaksimalkan kesesuaian.

Fakta semesta adalah seperti seekor unta yang kita intip dari lubang jarum. Kita justru akan berada dalam kebodohan total, jika berada jauh dari lubang jarum ini. Apalagi menganggap diri sudah tahu segalanya. Sains itu menakutkan, perlu keberanian untuk mendekatinya, kata Richard Dawkins. ~mnt

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun