Penganut sains garis keras menyepak metode selain positivisme dan melabel mereka sebagai ilmu palsu (pseudosains). Lalu apa yang dapat mereka katakan tentang fenomena suku Dogon yang memiliki pengetahuan tentang bintang Sirius selama ribuan tahun itu?
Suku primitif bertopeng yang menetap di Afrika Barat ini telah melompati prinsip-prinsip pada metodologi astronomi dan terpisah berabad-abad dari sentuhan sains manapun. Tanpa teleskop Hubble dan James Webb, bagaimana mereka bisa mengetahui tentang bintang yang jauh bernama Sirius sejak berabad lampau. Ini akan memeningkan kepala pembuta sains antariksa.
Suku Dogon berlandaskan pada satu Tuhan, Amma, percaya bahwa nenek moyang mereka adalah keturunan Mesir. Mereka mewarisi pengetahuan astronomi sejak tahun 3.200 SM. Tanpa proses ketat pada metodologi sains, sejak dulu kala mereka sudah tahu jika bumi itu berputar mengelilingi matahari. Mereka mengenal berbagai rasi bintang dan mengatakan bahwa galaksi Bima Sakti berbentuk spiral dengan sejumlah planet yang mengelilinginya.
Agar tidak superfisial, penganut positivisme berhentilah dari menyipitkan mata dan bermain dengan ilusi-ilusi dogmatisme sains. Berangkulan dengan banyak kemungkinan secara falsafati, menjadikan tujuan kepada pemenuhan kebutuhan ilmu akan terlihat bijaksana. Sebijaksana Thor, sang dewa petir putra Odin, ketika mengatakan, di planet Asgard, teknologi dan sihir sudah bercampur aduk sejak pertama. (*)
Muhammad Natsir Tahar__seorang Writerpreneur dan teman baru Paul Karl Feyerabend.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H