Rezim data sedang di depan kita dalam skala yang hampir tidak dapat dipahami. Saban hari kita mengirim lebih dari 370 miliar email dan lebih dari 100 miliar pesan WhatsApp, sementara lebih dari 500 menit video diunggah ke YouTube setiap 60 detik. Dan ini hanyalah puncak gunung es.
Hingga tahun 2025 nanti, menurut perusahaan analisis IDC, semua data yang dibuat oleh umat manusia diperkirakan mencapai 175 zettabytes.Â
Ini berasal dari setiap bagian kehidupan kita. Tidak hanya data dari percakapan digital yang kita buat, tapi segala upaya penelanjangan diri kita, dari semua perangkat yang pernah kita gunakan.
Jangan main-main dengan data, hanya dengan sedikit pengolahan data,  Deep Blue, pecatur kemaren sore yang baru saja dilahirkan IBM mampu menumbangkan dewa pecatur dunia, Gerry Kasparov. Sebagai yang maha penting, data bahkan disebut sebagai new oil abad 21.
Bagaimana dengan ledakan data, yang kemudian diserap oleh sebuah kecerdasan dari mesin pintar pengolah data, dan ketika mereka menekan tombolnya, mereka segera menjadi tuhan dengan T kecil berikutnya. Mereka yang mengisap cerutu dari ruang gelap, sambil mengamati bola kristal peramalan nasib umat manusia.
Sulitnya pengambilan keputusan sampai hari ini karena sistem Big Data belum benar-benar bersila di atas singgasananya.Â
Sedangkan sejarah yang ikut menjadi pijakan, datang seperti orang bangkrut, tidak banyak data yang dapat dikirim dari masa lalu. Apalagi hanya dengan pengandalan medium papyrus, tanah liat, bebatuan dan kertas lapuk.
Tablet-tablet Babilonia telah ditenggelamkan, buku-buku Athena, Aleksandria, Roma dan Baghdad telah dibakar, manuskrip dan kitab-kitab tua dari tanah jajahan telah dicuri dan diendapkan.Â
Data masa lalu sebenarnya telah bangkrut. Sebagai kata lain dari terlalu banyak data yang musnah atau tidak pernah tercatat.
Buku-buku yang masih tertinggal di tanah ini, itulah yang diputar-putar, ditulis ulang secara prolifik, bila perlu dengan menegakkan benang basah untuk menutupi kekosongan sejarah.Â