Dalam buku ini (dan buku lain yang telah ditulis), pembaca akan menemukan Fritjof Capra yang lain, yang secara superlatif melintang di timbunan prahara ekologis, sebagai saksi sekaligus pembantai serangkaian gerak gerik hedonistik yang diselubungi etika-etika palsu. Ini jauh melampaui minatnya untuk semata menjadi media darling, bagi isu-isu lingkungan.
Saya tidak akan keberatan untuk mengatakan bahwa Dr. Elv adalah seorang altruisme. Oedipus konon menikam kedua matanya demi menebus kesalahan sendiri, tapi Dr. Elv telah lama kemana-mana dengan kepala plontos, demi memikul dosa-dosa penggundulan hutan yang dilakukan orang lain.
Dalam catatannya, Riau yang luas daratannya sekitar 8,9 juta Ha telah dibebani izin sebesar 6,8 juta Ha. Taman Nasional 1,6 juta Ha, sisanya sekitar 1,4 untuk rakyat kecil yang harus berkongsi dengan areal perkantoran, fasilitas umum, kawasan tangkapan air (catchment area), dan hutan lindung.
Artinya hanya tersisa 15 persen daratan Riau yang bisa dinikmati oleh rakyat, dan tidak ada kepastian apalagi yang bisa diwariskan kepada anak cucu. Fakta lain, sisa sedikit itu sedang menghadapi ancaman penambahan alih fungsi hutan menjelang Pilkada (satu dari sangat banyak sisi gelap demokrasi elektoral), seperti tahun-tahun sebelumnya ketika para bupati tersandung kasus tata ruang. Ramalan Roosevelt benar belaka, bila sudah begini. Riau sedang menghitung mundur.
Di pangkal kalimat, saya mengutip Nietzsche: Aku mencintai hutan. Tidak enak tinggal di keramaian: di sana terlalu banyak mereka yang bernafsu. Dan Riau kini diliputi oleh hampir seluruhnya keramaian, mereka berkejaran dengan nafsu eksploitasi, diganyang oleh tentakel kapitalis dengan seribu tangan pencakar. Riau adalah juara satu pemilik titik panas, sebentang pulau Sumatera.
Dr. Elviriadi, S. Pi. M. Si adalah seorang akademisi, serta aktivis pakar lingkungan yang banyak tampil di forum internasional, juga tercatat sebagai Anggota Society of Ethnobilogi, Ohio State University, menjalankan sejumlah jabatan strategis pada bidang senada, dan penulisan belasan buku yang terhubung dengan sosio ekologi, kultur lokal, serta kesaksian dalam tema-tema kontemporer sosial politik.
Untuk menjadi seorang filosof lingkungan, Dr. Elv akan berhadapan dengan banyak pertanyaan dan penjelasan filsafat berikut tantangan kekinian yang meliputi isu-isu lingkungan. Filsafat harus mendorong manusia masuk ke dalam masyarakat biotik, untuk berangkulan bersama hewan dan tumbuhan. Pentingnya interkoneksi banyak hal ke alam, membela semacam perspektif holistik yang telah memainkan peran penting dalam pengetahuan ekologi.
Setidaknya ada tiga pertanyaan filsafat terhadap masalah lingkungan seperti ditulis oleh Dr. James A. Moran, seorang dosen di Departemen Filsafat di Daemen College di Amherst, New York.
Yang pertama adalah perjuangan untuk mengatasi pandangan antroposentris alam, pandangan yang melihat semua alam sebagai melayani kepentingan manusia, dan menghadap apa yang disebut 'nilai intrinsik' alam.
Tantangan kedua adalah pertanyaan tentang bagaimana menentukan tempat manusia di alam; kita harus dianggap sebagai sama dengan makhluk alam lainnya, tanpa hak khusus, ataukah kita memiliki peran yang lebih tinggi dalam membentuk dan mengelola alam.
Tantangan terakhir, atas dasar apa kita harus menetapkan status moral, atau apa yang kadang-kadang disebut considerability moral, untuk hewan dan benda-benda alam.