Barangkali ada pembaca yang terjebak pada kesombongan epistemik. Membaca buku dengan sepele, berusaha mencari cacat logika dari penulisnya, dan berbantah-bantah dengan setiap premisnya.
Pembaca seperti ini akan selalu skeptik lagi sinis. Dia tidak bermaksud menimba ilmu dari bacaan-bacaannya, gelasnya tidak pernah dikosongkan. Yang ingin dilakukan hanyalah mengukur sejauh mana penulis buku itu mampu mematahkan pertahanan kognitifnya, atau menikmati pembiaran kedangkalan dan kesesatan yang ia sangkakan dengan cibiran.
Dia menganggap kepalanya sudah sebesar British Library dan tak perlu membunuh waktunya dengan buku-buku marginal. Pembaca seperti ini tidak pernah down to earth, ia berusaha mematahkan mitos tentang seseorang bijak bestari berilmu padi yang makin berisi, makin merunduk.
Ada pula pembaca yang dahaga. Baginya semua buku bermutu adalah penting. Dia meletakkan buku-bukunya pada altar suci pengabdian ilmu, dan ingin mengirim salam takzim kepada penulisnya. Ia tak punya pembelaan yang kuat pada perspektifnya. Ia menelaah, memilah, dan batinnya bercakap-cakap dengan rendah hati.
Ada kejahatan yang lebih kejam daripada membakar buku. Salah satunya adalah tidak membacanya!
Walaupun ia merasa isi kepalanya sudah sepenuh perpustakaan Aleksandria, ia menjadikan bacaan-bacaan terakhirnya sebagai catatan kaki. Bahkan bisa menggantikan atau me-reset ulang paradigma-paradigma usang yang selama ini ia genggam.
Ada lagi pembaca yang melihat buku sebagai beban hedonistik. Baginya buku hanyalah tugas-tugas akademik. Ia membaca setengah buku dengan setengah hati. Bahkan ia tak pernah membaca apapun, ia hanya mencuplik bagian-bagian penting untuk ditumpuk ke wadah yang lain.
Ada kejahatan yang lebih kejam daripada membakar buku. Salah satunya adalah tidak membacanya, kata Joseph Brodsky peraih Nobel Sastra (1987).
Beberapa orang tidak datang dari kaum pembaca. Ia hanya menenteng buku untuk berlagak. Berpose secara menyedihkan di depan susunan buku setebal batu bata untuk menakut-nakuti kebodohan, sembari meneriakkan kepada dunia bahwa dia adalah seorang patriot pembaca.
Ia seolah seorang intelektual bukan main yang telah menghabiskan buku-buku itu dengan mudahnya. Ia bahkan tak sungkan membawa buku-bukunya ke kedai kopi, tapi berbicara sekelas komik.