Bumi yang tua renta harus memasuki usia senja dengan hari-hari terberat. Medio abad 20, manusia mulai memaksa bumi yang segar bugar untuk sakit.
Sains dan teknologi di fase ini melesat bak meteor, secepat itu pula bumi dirusak. Kita sedang berbicara tentang petaka masa depan, dengan penyebab yang paling diabaikan: pemanasan global.
Franklin D. Roosevelt (1882-1945), Negarawan dan Presiden Amerika Serikat berdiri di atas podium, satu abad sebelum isu-isu global warming diucapkan: Sebuah bangsa yang menghancurkan tanahnya (sekaligus) menghancurkan dirinya sendiri. Ucapannya, seperti sumpah yang tengah menagih pembuktian.
Manusia memang mesin biologis penghancur. Manusia-manusia primitif penghuni gua terlihat garang, karena harus menjadi penakluk belantara agar bisa bertahan. Tapi daya rusak mereka hanya gangguan-gangguan kecil.
Bahkan seperti lukisan yang terdapat di gua Lascaux dekat Dordogna, Prancis, manusia dari zaman Paleolitik membuat upacara untuk menghormati korban penaklukan mereka dari hewan dan tumbuhan.
Sedangkan manusia modern, tidak hanya punya daya rusak eksponensial, mereka bahkan tak peduli dengan tubuh lingkungan yang telah disakiti.
Di antara deru dan debu mesin-mesin perusak, para pejuang lingkungan pula berdiri sendirian melawan keganasan para kolonial ekologi, sekaligus pendangkalan yang dibuat orang-orang berkerah putih dengan segulung peta buta penyelamatan ekosistem, dan kerja-kerja kosmetik peremajaan lingkungan hidup.
Manusia perlu disadarkan dengan kata seru filosofis, untuk menutup jalan pikiran dengan tendensi superfisialitas. Fritjof Capra, seorang pemikir ekologis Austria dengan visi epistemologi tranformatif-nya  coba menggabungkan jalan pikiran epistemik dengan metafisis.
Alam  semesta  tidak  harus  dipandang  sebagai  seunit mesin atau perkakas,  yang  tersusun  atas  sekumpulan  objek  yang terpisah, melainkan  sebagai  sebuah keseluruhan yang  harmonis, yang  tidak  bisa  dipisah-pisahkan. Suatu  jaringan  hubungan  dinamis  yang meliputi manusia,  pengamat,  dan  kesadarannya  dengan  cara yang sangat esensial.
Capra melihat, spesialisasi  ekstrem  dari  pikiran  rasional, kini tengah berhubungan dengan mistisisme, esensi dari agama  dan  manifestasi  dari  spesialisasi  ekstrem pikiran intuitif, dengan begitu indahnya menunjukkan hakikat  modus kesadaran  rasional dan intuisi  yang  merupakan  kesatuan  dan  saling melengkapi.