Apa yang kita ilusikan sebagai kehendak bebas hanya tinggal sebagai rencana, prediksi, dan imajinasi sampai itu diizinkan terjadi oleh Sang Maha yang telah mengatur setiap detil gerak kosmos.
Jika demikian kehendak bebas menjadi ilusi. Pujian dan hukuman hanyalah efek samping dari ilusi. Lalu kita berlarian sepanjang hari antara gerak impulsif dan kompulsif.
Perdebatan tak usai antara determinisme dan kehendak bebas (free will) pernah didamaikan oleh aliran kompatibilisme. Secara tidak percaya diri mengatakan bahwa kehendak bebas dan determinisme merupakan gagasan yang tidak bertentangan, dan meyakini keduanya pada waktu yang bersamaan bukan merupakan ketidakkonsistenan logika.
Kata John Locke (1690), para kompatibilis percaya bahwa kebebasan dapat hadir dalam suatu situasi untuk alasan yang tidak ada kaitannya dengan metafisika. Pengadilan misalnya, menetapkan bahwa seseorang bertindak berdasarkan kehendak bebas mereka tanpa membawa isu metafisika.
Begitu pula kebebasan politik merupakan konsep non-metafisis. Mereka mendefinisikan kehendak bebas sebagai kebebasan untuk bertindak tanpa halangan dari orang atau institusi lain.
Dalam konteks metafisika akan muncul pertanyaan, apa yang membedakan antara tanpa halangan dengan diizinkan untuk terjadi? Misalnya seorang pembunuh, apakah dia seorang pendosa tanpa halangan atau justru dia adalah tangan Tuhan yang diizinkan itu terjadi, karena ajal dan cara kematian (saya ingin bertanya kepada pemuja kehendak bebas apakah ini sudah terdertiminasi atau tidak?).
Apakah kita akan begitu saja mengatakan seseorang mati secara acak agar menghukum seorang pembunuh menjadi tampak logis? Dari sisi cara kematian, apa yang kemudian membedakan seorang pembunuh dengan tiang listrik yang ditabrak dalam kecelakaan tunggal?
Apakah kejadian-kejadian pasca pembunuhan harus disusun ulang (berada di luar domain takdir deterministik), misalnya perubahan status seseorang istri menjadi janda, anak menjadi yatim, pembagian warisan dan hari-hari yang tak lagi sama, hanya karena ada seseorang penjahat yang tanpa sengaja menginterupsi durasi hidup orang lain.
Tanpa sengaja artinya motif pembunuhan bisa didorong oleh dendam, amarah, hasutan, kebutuhan, kesempatan dan desakan, apa saja. Lagi-lagi itu bukan bagian dari kehendak bebas. (Tanpa bermaksud permisif terhadap kriminalitas, mau tidak mau ini harus dibunyikan dalam wacana filosofis).
Pertanyaan selanjutnya misalnya tentang pemerkosa (didorong oleh libido sekaligus ditarik oleh sensasi visual dari korban) yang menghasilkan anak. Apakah anak ini dilahirkan karena takdir atau melompat begitu saja ke muka bumi dari ayah seorang bajingan? Lalu bajingan ini dihukum walaupun dia telah "diperalat" oleh Tuhan.
Pertanyaan-pertanyaan serupa dan pembelaan terhadap masalah logis kejahatan dalam bentuk yang lebih kompleks telah dielaborasi oleh Alvin Plantinga, seorang filsuf analitik yang kemudian menulis bukunya Tuhan, Kebebasan, dan Kejahatan (1977).
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!