Ketimbang meratapi kekalahan kita, cukup ambil positifnya demi Negara. Tentu saja kita sangat butuh presiden, dengan lincah mereka akan mengirimnya asal harganya cocok. Presiden yang tak akan mampu didebat oleh oposisi manapun.Â
Artinya, saatnya kita menyudahi bual-bual tak tentu arah, karena sekejap lagi _bila kita mengizinkan dan seharusnya demikian_ negara ini dapat dikendalikan secara robotik, bukan dari sembarang manusia yang muncul oleh sepotong keberuntungan statistik, yang diproduksi dari kelucuan demokrasi.
Saatnya kita memetik langsung manfaat dari sebuah negara, sebagai lembaga pelayanan publik terbesar, dan mendorong kemakmuran, keamanan, kenyamanan semua anak bangsa, serta dapat mengatasi penaklukan-penaklukan masa depan.
Itu hanya dapat dilakukan oleh negara scientific, negara ilmiah, negara yang bersih dari human error seperti koruptor dengan sistem yang dirancang boros, serta orang-orang malas dan tak punya kapasitas. Negara yang dipimpin oleh seorang CEO robotika, yang di dalamnya disuntikkan seluruh kecerdasan, dan kesempurnaan Deep Blue.Â
Bila kita masih malu-malu dipimpin oleh sebongkah robot AI, kita bisa berunding dengan bos SpaceX dan Tesla, Elon Musk. Dia sedang asyik dalam laboratorium digitalnya untuk menciptakan Cyborg: manusia dan robot dalam satu tubuh. Dalam kondisi yang lebih sopan yakni dengan menanam chip komputer ke dalam otak manusia. Bayangkan seorang presiden yang ditanamkan sebuah chip komputer di kepalanya.
Dengan demikian masyarakat demokrasi diizinkan untuk tetap berbual dan saling menertawakan secara santai atau cepat-cepat, pada saluran hiburan tertentu di televisi, radio, kanal Youtube, website, dan tentunya seluruh platform media sosial.Â
Di situ akan tetap dipercakapkan segala bentuk isme, dogma, segala macam teori, mitos-mitos, logika, etika, estetika atau sekadar ingin merayakan ketidakbijakannya dengan meributkan apa saja, atau menebar hoaks yang semakin dianggap sampah. Sepanjang saluran ini tidak menganggu sistem cerdas yang sedang menjalankan negara.
Masyarakat demokrasi diizinkan untuk tetap melaksanakan pemilu, melangsungkan kegenitan politik mereka, sebagai bentuk penyembahan terhadap agama survei elektabilitas. Masyarakat tetap mendapatkan kaos partainya, tetap disiram air saat kampanye. Tetap dapat melakukan transaksi kecil-kecilan dalam seolah-olah pertaruhan lima tahunan, pada saluran yang terpisah dari negara ilmiah.
Rakyat demokrasi tetap dapat menangis terisak bila pujaannya dimenangkan, karena siapapun pemenangnya segera mendapatkan chip super komputer di kepalanya. Akan ada yang bilang, pintar saja tidak cukup, mereka butuh akal budi yang paripurna serta cinta tanah air, baiklah itu hanya soal pengaturan data dan algoritma.
Mengutip Bertrand Russell, demokrasi adalah proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan. Ini dipastikan tidak lagi terjadi, karena bahkan untuk menertawakan sebuah kalkulator sederhana saja, kita tidak punya alasan. ~MNT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H