Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Elon Musk and The Next President of Indonesia

25 April 2021   22:50 Diperbarui: 26 April 2021   23:30 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Elon Musk: picture-alliance/AP/J. Raoux

Ketimbang meratapi kekalahan kita, cukup ambil positifnya demi Negara. Tentu saja kita sangat butuh presiden, dengan lincah mereka akan mengirimnya asal harganya cocok. Presiden yang tak akan mampu didebat oleh oposisi manapun. 

Artinya, saatnya kita menyudahi bual-bual tak tentu arah, karena sekejap lagi _bila kita mengizinkan dan seharusnya demikian_ negara ini dapat dikendalikan secara robotik, bukan dari sembarang manusia yang muncul oleh sepotong keberuntungan statistik, yang diproduksi dari kelucuan demokrasi.

Saatnya kita memetik langsung manfaat dari sebuah negara, sebagai lembaga pelayanan publik terbesar, dan mendorong kemakmuran, keamanan, kenyamanan semua anak bangsa, serta dapat mengatasi penaklukan-penaklukan masa depan.

Itu hanya dapat dilakukan oleh negara scientific, negara ilmiah, negara yang bersih dari human error seperti koruptor dengan sistem yang dirancang boros, serta orang-orang malas dan tak punya kapasitas. Negara yang dipimpin oleh seorang CEO robotika, yang di dalamnya disuntikkan seluruh kecerdasan, dan kesempurnaan Deep Blue. 

Bila kita masih malu-malu dipimpin oleh sebongkah robot AI, kita bisa berunding dengan bos SpaceX dan Tesla, Elon Musk. Dia sedang asyik dalam laboratorium digitalnya untuk menciptakan Cyborg: manusia dan robot dalam satu tubuh. Dalam kondisi yang lebih sopan yakni dengan menanam chip komputer ke dalam otak manusia. Bayangkan seorang presiden yang ditanamkan sebuah chip komputer di kepalanya.

Dengan demikian masyarakat demokrasi diizinkan untuk tetap berbual dan saling menertawakan secara santai atau cepat-cepat, pada saluran hiburan tertentu di televisi, radio, kanal Youtube, website, dan tentunya seluruh platform media sosial. 

Di situ akan tetap dipercakapkan segala bentuk isme, dogma, segala macam teori, mitos-mitos, logika, etika, estetika atau sekadar ingin merayakan ketidakbijakannya dengan meributkan apa saja, atau menebar hoaks yang semakin dianggap sampah. Sepanjang saluran ini tidak menganggu sistem cerdas yang sedang menjalankan negara.

Masyarakat demokrasi diizinkan untuk tetap melaksanakan pemilu, melangsungkan kegenitan politik mereka, sebagai bentuk penyembahan terhadap agama survei elektabilitas. Masyarakat tetap mendapatkan kaos partainya, tetap disiram air saat kampanye. Tetap dapat melakukan transaksi kecil-kecilan dalam seolah-olah pertaruhan lima tahunan, pada saluran yang terpisah dari negara ilmiah.

Rakyat demokrasi tetap dapat menangis terisak bila pujaannya dimenangkan, karena siapapun pemenangnya segera mendapatkan chip super komputer di kepalanya. Akan ada yang bilang, pintar saja tidak cukup, mereka butuh akal budi yang paripurna serta cinta tanah air, baiklah itu hanya soal pengaturan data dan algoritma.

Mengutip Bertrand Russell, demokrasi adalah proses di mana orang-orang memilih seseorang yang kelak akan mereka salahkan. Ini dipastikan tidak lagi terjadi, karena bahkan untuk menertawakan sebuah kalkulator sederhana saja, kita tidak punya alasan. ~MNT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun