Mohon tunggu...
Muhammad Natsir Tahar
Muhammad Natsir Tahar Mohon Tunggu... Penulis - Writerpreneur Indonesia

Muhammad Natsir Tahar| Writerpreneur| pembaca filsafat dan futurisme| Batam, Indonesia| Postgraduate Diploma in Business Management at Kingston International College, Singapore| International Certificates Achievements: English for Academic Study, Coventry University (UK)| Digital Skills: Artificial Intelligence, Accenture (UK)| Arts and Technology Teach-Out, University of Michigan (USA)| Leading Culturally Diverse Teams in The Workplace, Deakin University and Deakin Business Course (Australia)| Introduction to Business Management, King's College London (UK)| Motivation and Engagement in an Uncertain World, Coventry University (UK)| Stakeholder and Engagement Strategy, Philantrhopy University and Sustainably Knowledge Group (USA)| Pathway to Property: Starting Your Career in Real Estate, University of Reading and Henley Business School (UK)| Communication and Interpersonal Skills at Work, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Leading Strategic Innovation, Deakin University (Australia) and Coventry University (UK)| Entrepreneurship: From Business Idea to Action, King's College London (UK)| Study UK: Prepare to Study and Live in the UK, British Council (UK)| Leading Change Through Policymaking, British Council (UK)| Big Data Analytics, Griffith University (Australia)| What Make an Effective Presentation?, Coventry University (UK)| The Psychology of Personality, Monash University (Australia)| Create a Professional Online Presence, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Collaborative Working in a Remote Team, University of Leeds and Institute of Coding (UK)| Create a Social Media Marketing Campaign University of Leeds (UK)| Presenting Your Work with Impact, University of Leeds (UK)| Digital Skills: Embracing Digital, Technology King's College London (UK), etc.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haruskah Politisi Diklaster agar Negara Berjalan Ilmiah?

10 April 2021   07:52 Diperbarui: 11 April 2021   07:10 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada jalan berputar, kita tak mungkin menghalau demokrasi seperti Plato. Selain memikul dusta sejarah, demokrasi hanya memproduksi pemikir - pemikir pendek. Bagaimana Indonesia 30 hingga 50 tahun ke depan, siapa peduli. Mereka bukan penenung, mereka pelari, yang berlari terlalu cepat. Hingga pikiran tercecer di belakangnya. Apa yang lebih penting dari 2024? Tidak ada.

Tidak juga mungkin mengganti diksi demokrasi, demos kratos (kekuasaan rakyat), menjadi entah apa selain itu. Toh, rakyat juga tampak menikmati sorak sorai itu, yang mereka sebut pesta para demos. Lalu yang keluar sebagai pemenang mirip pemain jula-jula, itu ke itu saja. Mereka seperti klan, dinasti, atau kerumunan profesi politik dalam tahun - tahun yang sangat panjang hampir tanpa tepi.

Para pemikir asyik sendiri. Intelektual, akademisi, budayawan, pembaca puisi, atau para penghayal, menjadi hampir serupa iringan-iringan karavan yang menagih oase, lalu orgasme sendiri dalam ekstravaganza kata-kata. Para futuris berharap ada dunia paralel di sembarang dunia mungkin, untuk melihat adakah yang seperti kita. Yang terlalu betah berlama-lama dalam permainan dalil.    

Yang mungkin dilakukan adalah membuat cluster, mengunci para politisi dengan jelata yang satu server dengannya, lalu membiarkan negara dijalankan secara ilmiah. Negara yang bebas dari kepentingan politik absurd siapapun. Sehingga tidak dibiarkan para kandidat presiden misalnya, melakukan debat untuk beradu argumen bagaimana mengurus negara, serahkan saja kepada ahlinya. Serahkan kepada yang pintar.

Dalam kontestasi politik, para calon presiden sebaiknya bicara bagaimana membaca teks pidato dengan elegan, mengatur bahasa tubuh dalam pertemuan tingkat tinggi antara bangsa, menggunting pita, menggendong bayi rakyat, memukul gong, dan seterusnya.

Apa sebab Singapura dan Tiongkok maju, mereka menganut meritokrasi. Yang unggullah yang layak. Yang profesional dan memiliki keahlian terukur terus diburu untuk menjadi abdi negara. Sementara anasir-anasir politik yang kontraproduktif otomatis terhapus.

Tiga tahun lalu, saya pernah mengunggah tulisan di academia.edu bertitel "Negara Ilmiah". Tulisan ini ternyata menarik perhatian Harvard University, lalu mengunggahnya di laman coursehero.com dengan kode EDU 022503. Saya sendiri tidak bisa melihat tulisan dalam format PDF ini, karena harus teregistrasi dan berbayar (saya tidak melakukan hal terbalik: membayar tulisan sendiri).

Saya akan tampilkan tulisan tersebut secara utuh di sini, untuk melihat sejauh mana urgensi negara ilmiah, bagi penduduk dunia penganut demokrasi termasuk Amerika. Berikut ini tulisannya:

NEGARA ILMIAH_____Negara dapat berjalan secara ilmiah bila anasir - anasir politik di dalamnya bisa direduksi. Campur tangan terlalu kuat politik kekuasaan bisa menyebabkan arah negara berjalan terbalik dari utopia menuju distopia: negara sekarat.

Politik bahkan sudah sangat lama tercerabut dari akar etimologisnya, tentang mimpi indah warga kota versi Yunani atau ars politica versi Romawi yang berarti kemahiran tentang masalah-masalah kenegaraan.

Bahkan mungkin diksi-diksi politik abad ini dipakai sebagai eufemisme di balik tabiat kolektif cara sirkus guna mempertahankan atau mengambil kekuasaan. Atau ketika manusia-manusia politik yang sedang membonceng dan dihidupi oleh negara menciptakan teori kebenarannya sendiri. Mereka merilis drama-drama dan memborong semua peran protagonis.

Negara harus dibersihkan dari akar-akar politik kekuasaan dengan seperangkat teori-teori kelirunya yang jauh dari esensi. Kita bisa memegang dua konsep politik. Pertama, pandangan klasik Aristoteles yang mengemukakan bahwa politik digunakan untuk mencapai suatu kebaikan bersama yang dianggap memiliki nilai moral yang lebih tinggi daripada kepentingan di luar itu.

Kedua, pandangan modern Max Weber, bahwa politik adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Ia melihat negara dari sudut pandang yuridis formal yang statis dan memperkenalkan suatu bentuk ideal (ideal type) untuk negara modern dan rasional.

Konsep Aristoteles mempersyaratkan penyelenggara negara yang bijak serta bermoral tinggi dan Weber menginginkan negara dikelola secara ilmiah, bebas dari sentuhan-sentuhan politik yang karut dan distopis.

Unit-unit kerja profesional dalam suatu negara seperti aparat hukum harus dijauhkan dari suruhan-suruhan politik oleh satu atau sekelompok elite yang sulit beradaptasi dengan konsep negara modern versi Weber sekaligus filsafat moral negara yang diamanatkan Aristoteles.

Bila kita bermimpi memiliki negara dengan mengadopsi konsep moral sekaligus modern, maka negara harus memiliki sistem imun yang kuat untuk memfilter masuknya unsur-unsur negatif ke dalam tubuhnya yang dikirim atau diteriaki dari luar pagar oleh partai politik.

Partai politik atau parpol mestilah hanya mesin yang berfungsi memproduksi dan merekomendasikan anak-anak bangsa terbaik untuk dipekerjakan ke dalam negara. Bila parpol gagal melakukan hal ini, eksistensinya mesti dipertanyakan, ditiadakan bahkan dihukum.

Parpol harus bisa menggeser kuadrannya sebagai bagian dari solusi utopia, bukan malah menggelayut pada puncak kekuasaan dan susunan akrobat kabinet serta lembaga tinggi sepanjang periode. Parpol lebih tepat difungsikan sebagai roket pendorong dan segera lepas, ketika pesawat ruang angkasa sudah melewati atmosfer.

Presiden dan jabatan eksekutif di bawahnya yang terpilih secara elektoral, hendaklah dibatasi hanya satu periode, karena hampir semua petahana, akan menggerakkan unit-unit dalam negara sebagai alat mempertahankan kekuasaannya, dan proses demokrasi tidak akan mungkin bisa berjalan adil (fair play) sebanyak apapun narasi karut yang ditumpuk untuk membantah fakta ini.

Negara ilmiah juga bisa dijalankan dengan autopilot. Secara logika, sistem dalam suatu negara dapat berjalan tanpa adanya kehadiran pemimpin. Autopilot lebih dikenal sebagai sistem navigasi, mekanikal, elektrikal, atau hidrolik yang memandu sebuah kendaraan tanpa campur tangan dari manusia.

Bila negara sudah memiliki cetak biru dan hanya dikelola oleh manusia-manusia bermartabat dan profesional, tidak akan jadi soal apakah kemudian presiden atau bupati hanya ditugasi sebagai pembaca teks pidato atau penggunting pita.

Bila kita melompat jauh ke depan, 100 bahkan 50 tahun lagi, sistem algoritma lah yang berada di puncak peradaban. Pidato-pidato, orasi retoris, dan debat panggung televisi oleh mulut-mulut politisi dari spesies manusia segera dibekap dan digantikan oleh sistem otomasi yang presisi dan efektif serta jauh dari kata salah secara Negara Ilmiah.

Negarawan dan Perdana Menteri dari Jerman Otto Von Bismarck (1815-1898) pernah berujar, jangan pernah mempercayai apa pun dalam politik sampai hal itu resmi diingkari. ~MNT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun