Saya harus mempelajari politik dan perang agar anak saya punya kebebasan untuk mempelajari matematika dan filsafat. Ini kata Presiden Amerika John Adams, empat abad silam. Begitu politik diberi angin meranapkan monarki absolut, tak sampai seabad kemarin, datang Presiden transisi Prancis, Charles de Gaulle, nadanya muntab: politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terperanjat bila rakyat mempercayainya.
Tidak di abad pertengahan pun modern, kita balik ke pangkal jalan. Siapa yang hendak menyanggah induk semang pemikir murni Aristoteles, kalimatnya bersayap: manusia adalah binatang politik. Sepanjang planet bumi berotasi dan disengat matahari yang kemarin, sepanjang itu binatang politik tetap melata.
Di fajar kehadirannya, politik punya misi bukan main untuk melucuti kekuasaan jahat monarki. Politik lambat laun tak lagi menjamin anak-anak akan tetap belajar matematika dan filsafat, tidak itu tujuan utama mereka. Jelata tak lebih dari punggung-punggung yang disusun berjenjang, dalam posisi vertikal menuju langit kekuasaan. Di atas awan mereka terbahak.
Partai politik yang dilembagakan dalam mitos-mitos negara, punya watak entah sengaja atau tidak menyelinapkan oligarki dan koruptor lewat pintu belakang untuk menghanguskan utopia. Utopia, suatu kata kunci filosofis yang harus ditanya ulang, mengapa kita mendirikan negara. Yang tinggal di benak pemenang politik adalah bagaimana kekuasaan itu abadi. Tinggal menyesuaikan dengan ritus lucu yang kita panggil demokrasi elektoral.
Di negeri serba lucu ini, semua ingin jadi ketua. Maka jika boleh partai politik banyaknya 365 biji, sebanyak hari-hari dalam setahun. Kalau jumlahnya hanya belasan, tidak heran jika ada yang menyerang rumah tangga politik orang lain, untuk menjadi ayah yang baru. Ayah yang seiras dengan langgam istana di atas awan.
Di negara maju, negeri sebesar Amerika Serikat misalnya hanya ada dua partai, Partai Republik yang konservatif dan Partai Demokrat yang moderat. Itu langsung merepresentasikan dua kutub besar ideologi dalam dialektika bernegara.
Di zaman Orba, kita hanya punya dua partai, PDI dengan platform demokrasi kerakyatan dan PPP yang dogmatis, ditambah Golongan Karya yang mirip konsep artistokrasi bila tak tersandera oleh diktatorial. Ketiganya, adalah tiga kutub besar dialektika bernegara kita, dan seharusnya ini dipertahankan untuk meredam kebisingan dan lintang pukang sesudahnya.
Bila kita menoleh ke titimangsa kekuasaan di bumi baik versi datar maupun bulat, kita bisa membaginya menjadi tiga; monarki, republik, dan demokrasi. Ketiganya punya sifat baik sekaligus buruk.
Baiknya macam begini: monarki minus absolut, akan punya perdana menteri pilih tanding yang cakap, presiden di sebuah republik akan dibantu oleh para arsitokrat hebat, dan presiden di dunia imaji demokrasi, adalah presiden pilihan murni dari benak rakyat, dan tak terperanjat bila rakyat mempercayai ucapannya.
Hal yang buruk dari ketiganya adalah kekuasaan mulai berwatak totaliter dan oligarki serta segenap politisi yang bertawaf di sekeliling istana, ingin berkuasa sampai matahari terbit di sebelah utara.