Dari penilitian, 70 persen dari kita pernah merasa deja vu. Perasaan melihat pengulangan peristiwa dari masa lalu. Istilah Deja vu diungkap pertama sekali pada 1876 oleh filsuf Perancis Emile Boirac. Hingga sekarang deja vu masih menjadi enigma, dan sains dalam silang pendapat.
Kita cek literatur: istilah deja vu berasal dari bahasa Prancis, deja: sudah, pernah, dan vu dari kata vior: melihat, yang berarti pernah melihat. Istilah lain deja vu adalah paramnesia, dari bahasa Yunani, para: sejarah dan mnimi: ingatan.
Ada yang menyebut deja vu sebagai kenangan palsu menurut psikolog Valerie F. Reyna, fantasi masa lalu kata Sigmud Freud, adanya fenomena dunia paralel sebut Max Regmark, seorang profesor fisika dan astronomi. Di pihak lain deja vu dikaitkan dengan reinkarnasi dan indra keenam.
Dasar teori yang dipakai adalah dua proses penting terjadi di dalam otak ketika manusia mencoba mengenali sesuatu yang sudah familiar.
Sebagai proses awal, otak akan berusaha mencari file lama di dalam ingatan untuk melihat apakah kita pernah merasakan kejadian tersebut, kemudian jika otak menemukan ingatan yang sesuai, sebuah area terpisah dari otak akan mengindentifikasinya sebagai sesuatu yang familiar. Dalam deja vu, bagian kedua dari proses ini bisa dipicu secara tak sengaja.
Lain lagi O'Connor dan tim di University of St Andrews, Inggris. Mereka berusaha menciptakan sensasi deja vu pada partisipan dengan cara menanamkan memori palsu.Â
Tim kemudian memindai otak partisipan yang mengalami deja vu tersebut menggunakan FMRI. Penemuan ini juga menunjukkan bahwa deja vu merupakan tanda bahwa sistem pengecek memori pada otak bekerja dengan baik.
Kita menyebut sesuatu yang pernah dilihat sebagai deja vu bila tidak yakin hal itu pernah kita alami sebelumnya. Ilmuan melakukan serangkaian simulasi, sebatas pada tahap adanya sensasi keserupaan dan memori yang tersembunyi. Namun tak mampu memverifikasi apakah kita pernah mengalami hal yang berulang dari masa lalu.
Saya ingin mengatakan bahwa otak dan seluruh kenangan kita amat rapuh dan mudah direkayasa bahkan nantinya bisa di copy paste. Padahal di sanalah letak esensi dan eksistensi kita. Di sana terletak kesombongan kita, ego kita, ideologi, dan Tuhan. Bayangkan di mana kita ketika kita menjadi tuna grahita yang sedang diikat di rumah sakit jiwa?