Kali ini saya sepakat bahwa mudik dan pulang kampung itu beda. Mudik melekat pada waktu, ada kode H minus, berskala masif dan arus balik. Mudik umumnya dilakukan oleh kaum urban yang menetap di kota. Fenomena mudik adalah tradisi unik yang barangkali hanya ada di Indonesia.
Sedangkan pulang kampung, kita tinggal memilih dari 365 hari dalam setahun. Orang yang pulang kampung bisa saja pekerja temporer dari desa, atau orang kota yang memutuskan untuk kembali menetap di kampung halaman. Orang yang pulang kampung di sembarang waktu, tidak disebut mudik.
Najwa Shihab mengejar substansi bahwa gelombang balik dari kota ke desa dalam konteks penyebaran Covid-19, harus melepaskan ambiguitas makna, karena mudik dan pulang kampung, artinya sama - sama kembali ke udik. Sama-sama berefek negatif, di mana orang-orang dari kota dapat mengkontaminasi warga desa.
Ini yang kemudian membuat ruang gema (echo chamber) media sosial terjebak pada arus dangkal antara istilah mudik dan pulang kampung. Warganet mungkin telah terlalu penat, sehingga selalu antusias untuk menggemakan bahan tertawaan baru. Apalagi ketika kita sudah dikunci oleh protokol kesehatan, kita akan lebih banyak bermain di ruang virtual dengan ciri khas utamanya: superfisial.
Superfisial atau permainan permukaan, adalah kunci agar isu merambat dengan cepat kepada semua orang, mirip demokrasi elektoral ketika suara seorang guru besar bercampur aduk dengan suara bekas penyandang tuna grahita di dalam kotak pemilu. Tidak perlu menjadi seorang ahli linguistik untuk membahas kosa kata dan ambiguitas makna, karena yang selalu dikejar adalah sisi lucunya.
Manusia didorong untuk selalu berkata-kata. Bumi adalah ruang kata. Lebih dari tujuh miliar manusia memproduksi masing-masing 17.000 hingga 20.000 kata per hari. Â Itu belum dihitung dari kata-kata dalam bentuk teks seperti ocehan di ruang gema, pesan singkat, pesan surel dan begitu banyaknya bentuk percakapan maya lainnya, demikian pula kata-kata yang direkam, ditulis atau diketik.
Saat ini kaum digital sudah mengidap smartphone syndrome, semacam jebakan yang membuat kita terbenam dalam shallow work atau aktivitas dangkal penyita waktu produktif yang tidak berdampak pada peningkatan skill dan income.
Kita selalu terikat dengan distraksi notifikasi online tanpa henti dari Facebook, Twitter, Whatsapp, Instagram, dan ratusan lainnya dan gerak tanpa sadar untuk selalu membaca konten sensasional yang sebagian besar berupa hoaks dan segala sampah digital.
Begitu banyak persoalan bangsa ini yang perlu kita pikirkan bersama. Covid-19 seolah datang menjadi sabuk pelindung untuk membungkus kinerja kabinet yang lemah. Banyak analisis yang bisa mengoreksi ini semua, tapi mereka berada di luar. Mereka dibuang oleh politik kekuasaan. Suara-suara mereka ditimpa oleh superfisialitas media sosial.
Ada yang berpendapat bahwa statistik Covid-19 hanyalah fenomena gunung es. Karena pemerintah telah lengah, justru menyambut wabah ini dengan menyewa buzzer demi memanipulasi media sosial ketimbang menyiapkan segala perangkat medis sejak pertama. Pemerintah lebih suka bicara kepada ruang gema ketimbang bekerja diam-diam.