Mereka terus berlomba dengan negara-negara neo-kolonialis tentang siapa yang paling cepat membuat negeri ini tumbang. Isu-isu dialihkan ke hal permukaan yang mendominasi lini masa berita-berita. Berita-berita yang di-klik para nomad supermarket sebatas jeda di antara perburuan hedonis di lautan digital.
Orang-orang terus aneh, memecahkan muka maling kecil, sebagian membakarnya. Merasa paling suci atau wakil Tuhan di bumi. Padahal jika maling itu kaya, dia tidak ada di sana, mungkin sedang main golf di The Els Club, Dubai atau memburu wine abad ke-19 di Bordeaux, Prancis.
Penjahat kemanusiaan lolos, perusak lingkungan bebas, penikmat kemewahan negara melenggang setelah menggemukkan anggaran, koruptor yang belum tersentuh masih lebar tawanya.
Penerima suap dan upeti izin semakin menggelinjang. Padahal tanpa orang-orang ini, maling itu tidak dibakar. Mereka akan punya pekerjaan yang layak, atau pendidikan memadai.
Dengan senjata dan seragam yang dibeli dari uang rakyat, oknum aparat mengusir pengunjuk rasa dengan brutal. Mereka bahkan tidak ingin bertanya apa yang sedang mereka bela.
Padahal jika aspirasinya terpenuhi oleh negara, pengunjuk rasa itu sedang memetik hari-hari bahagia mereka pada hari yang sama. Sebagian besar dari mereka tidak berunjuk rasa atas kepentingan pribadi, tapi kepentingan publik, yang juga membawa kepentingan keluarga dan kerabat oknum berseragam.
Beberapa kelompok berdebat tentang ideologi, berselisih tentang ajaran Tuhan. Tapi tidak menyentuh atau bahkan untuk menutupi apa yang paling urgen sebenarnya. Uang negara tetap dirampok, pungutan tetap naik, jalan dan jembatan dibangun dengan utang.
Beberapa pejabat membuat kerja tolol seperti dalam kasus beras Bulog, mereka tinggal menyiapkan alasan membela diri dengan wajah tembok, dan semuanya selesai. Sementara hukum tetap bisa dibeli dan menunduk di bawah petunjuk politik.
Perdebatan tetaplah tontonan yang memenuhi kebutuhan kapitalisme televisi atau google adsense di kanal Youtube. Berita-berita adalah bagian dari industri media yang tak mampu berbuat banyak. Karena mereka juga sibuk menghidupi diri sendiri, agar bisa tetap bernafas dan membayar pungutan.
Bumi makin tidak aman, karena bumi itu sendiri dan karena orang-orang di atasnya. Tidak ada keadilan di bumi. Malaikat sibuk mencatat dosa para penjahat terhadap negaranya, tapi bukan untuk mencegah.
Orang-orang akan semakin banyak bicara di media sosial, karena hanya sebatas itu yang mereka bisa. Salah satu dari mereka mulai berteriak: mana planet lain, kami yang pergi atau kalian?