Semua yang berbicara demokrasi, mereka telah berbohong. Tidak ada kekuasaan di tangan rakyat. Tidak pernah ada. Kekuasaan adalah milik pemenang. Rakyat hanyalah pemilik sehelai kupon undian yang bising sendiri di luar pagar istana. Selanjutnya adalah oligarki. The winners take all.
Jikapun ada demokrasi, makhluk ini telah berkelamin ganda. Dalam sains biologi kita sebut hermaprodit. Demokrasi di satu sisi berpasangan dalam satu tubuh dengan oligarki yang berlainan jenis. Oligarki sebagai kumpulan orang-orang yang merasa berhak mengatur semuanya. Atau orang-orang yang masih bernostalgia dengan zaman feodal.
Mereka mengaku sebagai negara, padahal mereka hanyalah orang-orang yang dipinjamkan oleh rakyat -tuan mereka- kepada Negara. Kalau di zaman Athena kuno tempat lahirnya demokrasi, orang-orang ini sewaktu-waktu bisa di-recall atau dipecat tanpa punya hak bertanya mengapa rakyat melakukan itu.
Demokrasi itu berat, cari nama lain dulu atau paling tidak jangan sering-sering disebut. Demokrasi adalah omong kosong terbesar berabad-abad, kecuali ingin disempitkan maknanya menjadi sebatas kelonggaran verbal dan ritual undian lima tahunan.Â
Bahkan di Athena sendiri, nenek moyang demokrasi lahir dengan cacat. Mereka menendang budak dan wanita keluar dari lingkaran sakral demokrasi maskulin yang mereka anut.
Semua pemimpin berpotensi menjadi Nero atau Caligula, jika tidak ada kekuatan penyeimbang dari luar. Meski cara-cara pernah  dibuat misalnya di Mesopotamia kuno, sudah ada pemerintahan demokratis primitif, raja-raja perlu melewati penilaian dewan.
Magna Carta (15 Juni 1215) lahir karena ada kekuatan tandingan dari Paus dan Baron (tuan tanah). Raja John dari Britania bergetar menandatangani piagam besar ini saat menghadapi kenyataan sebagian kekuatannya dilucuti. Magna Carta adalah prosedur legal bahwa kesemena-menaan raja akan berbenturan dengan hukum.
Tapi feodalisme kembali kambuh hingga muncul tragedi Kematian Hitam (The Black Death) oleh gerombolan tikus pembawa wabah pes pada 1346, petani jadi punya nilai tawar dan menuntut hak-hak mereka. Monarki makin menipis ketika parlemen (semuanya oposisi) mulai dibentuk sebagai penanda demokrasi.
Demokrasi tidak bisa dibuat langsung seperti ketika ia mulai dibicarakan di Agora atau Acropolis, sehingga kita butuh parlemen. Pada filosofi demokrasi, derajat parlemen berada di atas kaisar atau presiden, tapi Trias Politika sudah membuka jalan damai agar mereka setara.
Untuk mengambil nilai filosofis demokrasi, kita telah punya MPR: konon sebagai lembaga tertinggi Negara yang bisa memecat presiden. Sayangnya sistem presidensial -yang entah mengapa kita meniru Amerika yang sudah matang sekaligus pragmatif- mengacaukan bagaimana cara kerja demokrasi.Â